Mohon tunggu...
Fitri.y Yeye
Fitri.y Yeye Mohon Tunggu... Administrasi - otw penulis profesional

Wanita biasa.\r\nPenulis Novel Satu Cinta Dua Agama & Rahasia Hati

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Pengakuan Perempuan Tentang Kamar 307 {11}

11 Maret 2013   08:43 Diperbarui: 24 Juni 2015   16:59 766
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13629912851348369379

[caption id="attachment_231951" align="aligncenter" width="406" caption="akuperempuanlangit.blogspot.com"][/caption]

Sylvia dan Bertha, dua perempuan dalam satu derita. Dinikahi pria yang sama, dilukai dengan penghianatan yang menyisakan luka di dada. Alfa suami mereka meregang nyawa di tangan Bertha istri mudanya. Mengakhiri hidup dengan cara yang mungkin adil bagi kedua istrinya. Pria itu pantas menerima kematian karena selama hidupnya hanya menebar sakit dan penderitaan pada diri perempuan yang sangat mencintainya.

Tetapi hukum, tentu tak bisa memaafkan begitu saja apa yang telah dilakukan Bertha. “Pembunuhan” sebuah tindak kriminal yang harus dipertanggung jawabkan di mata hukum. Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dia terjerat pasal 338 : yang mengatur tentang tindakan pembunuhan. Ia pastilah tak bisa lolos begitu saja dari jerat hukum yang berlaku di negeri ini.

Bertha tahu Sylvia adalah seorang perempuan yang cerdas. Dia pasti paham sekali ihkwal hal itu. Dia bergerak cepat, menghubungi dua pengacara sebagai kuasa hukumnya di pengadilan. Meskipun ia tahu apa yang dilakukan Sylvia bukan karena ia membenarkan tindakannya telah membunuh suaminya, ayah dari anak-anak perempuan itu.

“Aku melakukannya karena aku tahu selama ini kamu sangat menderita Bertha! Alfa telah membuat hidupmu berantakan. Aku tidak membenarkanmu telah membunuhnya, tidak ada hak kita sebagai manusia mencabut nyawa seseorang. Bagaimanapun itu tetaplah salah. Namun aku sangat mengerti, sebagai perempuan. Kemarahan yang besar dalam dirimu telah membuatmu khilaf” Sylvia menghela nafasnya berat, sudut matanya berembun.

“Aku tentu saja sedih Bertha...aku pernah hidup lebih dari 17 tahun dengannya. Dari rahimku telah lahir dua orang anak-anak yang mengalir darahnya di sana. Aku! terutama anak-anak tidak menerima kenyataan pahit ini. Kami ingin dia sadar dari semua kesalahannya, bertoubat dan kembali ke jalan yang benar. Kami tidak pernah menginginkan hidupnya berakhir dengan cara tragis begini.”

Sylvia menghapus segaris titik-titik yang menetes di wajah halusnya, ia meremas jemarinya sembari menahan emosi yang menggulung-gulung jiwa. Ia ingat saat kejadian itu, Ia sedang merenda kain-kain bermotif di rumahnya. Ia hanya seorang penjahit biasa, tetapi keahliannya membuat renda membuatnya lebih terkenal sebagai seorang pengusaha renda. Beberapa orang remaja putus sekolah bekerja membantunya. pihak kepolisian menghubunginya saat dia tengah asyik dengan pekerjaannya. Polisi mengabarkan bahwa mantan suaminya ditemukan tewas di kamar 307 hotel Jaya. Ia menggigil, terbelalak dengan apa yang baru saja ia dengar. Putri sulungnya Vevita menahan tubuhnya. Ia nyaris pingsan tak sadarkan diri.

Mereka berdua pergi ke rumah sakit, memastikan kalau yang terbunuh itu adalah ayah dari anak-anaknya. Pria yang dulu sangat ia cintai. Bertahun-tahun telah menghabiskan hidup dengannya.

Mereka mengikuti langkah dua orang polisi yang berjalan di depan mereka. Sylvia hanya menunduk, tak sanggup membayangkan jika yang dilihatnya nanti adalah benar mayat Alfa mantan suaminya. Meskipun ia telah kehilangan laki-laki itu lama. Sylvia memang telah bercerai dengan Alfa, juga diantara mereka hampir sudah tak ada lagi komunikasi. Bahkan suaminya itu tak pernah bertanya tentang anak-anaknya. Vevita yang paling tahu seperti apa ia menderita di perlakukan suaminya. Namun tetap saja di hatinya ada rasa yang lain, ia menyadari kini sedang melangkah menuju gerbang perpisahan abadi dengan orang yang dulu mengisi hidupnya.

Mereka sampai di depan kamar jenazah. Beberapa orang tampak terlihat di depan ruang itu. Terisak, ada yang sibuk bolak-balik. Suasana mencekam penuh duka terasa pekat di sana. Sylvia menggandeng putrinya lebih erat, tanpa suara mereka seolah sedang bicara. Mengenang seseorang yang dulu sangat berarti dalam hidup mereka, menguatkan dan mencoba menerima kenyataan agar ikhlas menerima keadaan.

Seorang polisi membukakan kain penutup jenazahnya. Ia menahan tangisnya.Wajah itu pucat, terbujur kaku di ruang otopsi rumah sakit. Vevita terdiam, memeluk ibunya dengan perasaan hampa dan tegang. Seingatnya sudah sangat lama ia tak pernah lagi bertemu papa. Kini ia ada di hadapannya, dalam kondini menggenaskan tak bernyawa.

“Benar...ini mantan suami saya pak!” hanya itu yang keluar dari mulutnya. “ibu bisa ikut kami sebentar untuk memberikan keterangan!” balas polisi itu, Sylvia mengangguk kembali mengikuti dua orang polisi itu ke kantornya. Sylvia memberikan keterangan tentang hubungannya yang telah berakhir dengan Alfa. Dari polisi kemudian ia tahu bahwa pelakunya adalah Bertha. Ia syok, tak percaya dengan apa yang didengarnya. Mencoba mengurai peristiwa-demi peristiwa masa lalu yang di lewati Bertha dengan suaminya.

Selama dalam perjalanan pulang mereka saling diam. Sylvia seakan merasakan penderitaan yang dialami Bertha. Ia tahu wanita itu tak mungkin berniat membunuh Alfa yang masih berstatus sebagai istrinya Alfa. Mereka tidak pernah terdengar bercerai, meskipun Alfa telah menjualnya pada seorang gigolo. Pada waktu-waktu tertentu lelaki itu masih mendatangi Bertha. Alfa pasti telah menyiksanya, hingga akhirnya wanita itu nekad.

Sylvia hanya mereka-reka motif terjadinya pembunuhan itu. Tiba-tiba ia merasakan kepalanya berat, “malangnya wanita itu!” gumamnya dalam hati.

Sampai di rumah ia masih membayangkan wajah suaminya. Dulu ia begitu gagah dengan sorot mata yang tajam. Ia sangat berwibawa, Sylvia tak pernah bisa menghapus segala kenangan manis dengan pria itu. Terlalu sakit jika ia terus mengingat penghianatan Alfa. Hanya akan menumpuk kebencian, ia tak suka itu. Dia takut kebencian dan kemarahannya kepada Alfa menjadi dendam dalam hidupnya. Ia memilih pergi dan hidup berpisah dari Alfa, membawa dan membesarkan anak-anaknya seorang diri.

Sylvia memejamkan lagi matanya,begitu jelas terlintas saat tadi ia tak lagi menyaksikan tatapan tajam Alfa. Mata itu telah menutup untuk selamanya. Tidak akan pernah lagi membuka.

“Sayang, sekarang papa benar-benar telah pergi meninggalkan kita!”

“itu lebih baik ma, daripada dia ada tapi tak pernah peduli dengan kita!” begitu ringan mulut remaja itu bicara.

“mama tahu nak, tapi sungguh mama menyesalkan. Papa harus meninggal dengan seperti ini! Mama juga kasihan dengan Bertha!”

“iya ma...bagaimanapun aku menyayangi papa. Aku masih berharap suatu hari papa sadar. Kemudian datang menemui kita. Memelukku dan Ringga, mimpi itu mungkin harus berakhir sekarang!” Vevita menangis.

“tapi papa memang lebih baik pergi ma. Jika akhirnya harus dengan dibunuh, itu mungkin takdir yang sudah digariskan untuk papa” Vevita mendesah.

“bagaimana dengan tante Bertha? Apa yang harus kita lakukan? Dia pasti juga sangat menderita.”

“mama masih peduli padanya? Dia yang mengambil papa dari mama?”

“tidak sayang! Dia tak tahu apa-apa. Dia dibohongi papamu. Mama ingin menolongnya, dia tak mungkin lepas dari jerat hukum. Kasihan dia!”

“terserah mama...kalau aku tidak akan mau peduli dengan pelacur itu!”

“tidak sayang...jangan katakan itu! Papamu yang membuatnya menjadi pelacur. Mama ingin melakukannya karena naluri perempuan mama. Dia dan kita sama sayang. Wanita-wanita yang dikhianati, kita harus membantunya”

Vevita menghambur kepelukan mamanya. “Suatu hal yang tak pernah bisa kumengerti tentang mama. Mama selalu dapat dengan mudah memaafkan, mama perempuan mulia! Aku tak tahu bagaimaa bisa mama berpikir ingin menolong wanita yang menjadi madu mama? Aku percaya pada mama. Jika mama saja yang sudah setua ini masih bisa melakukan kebaikan, harusnya aku yang masih muda ini tidak menghalangi mama!”

Vevita tersenyum, Sylvia mengecup kening anak perempuannya. Gadis itu telah tumbuh dewasa. Sebentar lagi ia akan lulus di perguruan tinggi. Sylvia wanita yang kuat, ia berjuang sendiri membesarkan anak-anaknya. Tanpa suami yang mendampingi.

*

“Terimakasih mbak untuk semua pengertian dan kebaikanmu! Entah bagaimana aku harus membalasnya” Bertha menatap wanita di luar sel itu sendu.

“Tidak Bertha...aku hanya berharap kamu bisa bertahan dan bersabar menerima semua ini. Sekarang kepolisian sedang mengumpulkan bukti-bukti kesalahan yang kamu lakukan dengan petunjuk jaksa. Setelah lengkap, mereka akan menyerahkan berkas perkara ke kejaksaan. Nanti kejaksaan akan menyiapkan bahan dakwaanuntuk diajukan ke pengadilan. Semoga semuanya berjalan lancar dan cepat, hingga kamu tak perlu berlama-lama menunggu keputusan pengadilan untuk kasus ini”

Sylvia menggenggam lagi tangan Bertha yang mulai dingin. Bertha semakin merasakan ketakutan. Takut menghadapi hukuman apa yang nanti akan dijatuhkan kepadanya. Bisa saja hukuman mati, atau penjara seumur hidup.

*bersambung*

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun