Mohon tunggu...
Ade Wahyudi
Ade Wahyudi Mohon Tunggu... -

Kembara Cinta

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

MENCINTAI DENGAN MENELADANI *

4 Mei 2013   13:57 Diperbarui: 24 Juni 2015   14:07 4712
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

BAB I

MUKADIMAH

A.Latar Belakang

Nabi Muhammad Saw lahir 12 Rabiul Awwal Tahun Gajah, beliau dilahirkan dari pasangan terbaik Abdullah bin Abdul Muthalib dan Aminah binti Wahab bin Abdi Manaf. Nabi Muhammad Saw menjadi anak yatim semenjak di dalam kandungan, sementara ditinggal oleh ibunya di saat usianya masih 6 tahun, jadilah beliau sebagai yatim piatu. Sepeninggal ayahnya Rasulullah Saw dianugerahi panggilan “Matchless Orphan Pearl” atau “Permata anak yatim yang tiada banding”, dalam ukuran perkembangan anak-anak masa-masa tersebut adalah masa di mana kasih sayang dan peran orang tua sangat di butuhkan dalam tumbuh kembangnya.

Nabi Muhammad Saw adalah manusia pilihan, yang dipilih Allah SWT.. Sehingga sekalipun kedua orang tuanya telah meninggal beliau secara langsung dilindungi dan diasuh oleh Allah SWT melalui perantara kakek, paman, dan saudara-saudaranya sehingga tumbuhlah Nabi Muhammad Saw sebagai pribadi yang kharismatik, jujur, pandai, dan dapat dipercaya sebagai penyampai pesan atau risalah tauhid. Kakek dan pamannya melindunginya sampai pada tingkat tertentu, akan tetapi kemudian beliau merasa bahwa pelindung sejati adalah Allah SWT. Baihaqi mengatakan bahwa Abdullah bin Ja’far r.a. berkata, “Ketika Abu Thalib wafat seorang lelaki dungu dari kafir Quraisy menghadang Rasulullah Saw. dan mengotori beliau dengan debu dan lau kembali kerumahnya. Kemudian, datanglah seorang putri beliau menghapus debu dari muka beliau sambil menangis. Rasulullah pun bersabda “Wahai putiku, jangan menangis, Allah menjaga ayahmu

Rasulullah Saw, merupakan pribadi paripurna dengan keistimewaan dan kemuliaan akhlaknya. “Air kehidupan” untuk keselamatan manusia ini harus dikenal siapa saja. Nabi Muhammad Saw merupakan kebanggan umat manusia. Selama 14 abad ini, banyak para pemikir, filsuf, ilmuwan dan ulama, yang merupakan bintang cemerlang di dunia intelektual, telah berbaris di belakangnya dengan penuh rasa hormat dan kagum, dan merasa bangga menjadi salah seorang dari umatnya. Bahkan pendeta Bahira sedemikian senangnya bertemu dengan Nabi Muhammad Saw untuk kali kedua, seraya berkata “Engkau akan menjadi Nabi, Seorang Nabi terakhir. Aku berharap Allah Mengizinkan aku masih hidup untuk melihatmu diangkat menjadi Nabi. Aku akan mengikutimu, membawakan sepatumu dan melindungimu dari musuh-musuhmu!” demikian mulia dan agungnya Rasulullah Saw sehingga seorang pendeta sekalipun menghormati dan memuliakan beliau serta berharap dapat mengikutinya sekalipun hanya membawakan sepatunya.

Pemahaman, pencontohan, kekaguman, serta rasa bangga terhadap keagungan pribadi Rasulullah Saw dewasa ini mengalami dekadensi, khususnya di Indonesia. Seperti kita ketahui bersama beragam kasus moral dan sosial silih berganti terjadi, hal ini mengindikasikan minimnya sikap meneladani akhlak Rasululah Saw di dalam kehidupan sehari-hari.

Meskipun pesan dan himbauan akan pentingnya meneladani akhlak Rasul Saw sering di jumpai dalam berbagai event, seperti tausiyah, ceramah keagamaan, maupun mimbar-mimbar kajian baik yang ditayangkan di media maupun yang diselenggarakan oleh masyarakat pada umumnya. Namun sejauh pangamatan penulis kegiatan-kegiatan di atas umumnya mengalami disorientasi, yang lebih dipentingkan adalah ceremonial di bandingkan implementasi peneladanan akhlak Rasul Saw dalam setiap aspek kehidupan.

Upaya-upaya meneladani cara hidup Rasulullah Saw saat ini sudah sangat sulit ditemukan. Perlu disadari penetrasi perkembangan zaman bergerak lebih cepat dan signifikan sehingga mau tidak mau hal tersebut berimplikasi pada kepekaan dan kemauan seseorang menjadi surut untuk mempelajari dan meneladani cara hidup Rasulullah Saw. sehingga dibutuhkan cara yang lebih persuasive untuk menanamkan cinta dan toleransi sebagai landasan untuk melakukan upaya pembelajaran dan peneladanan terhadap akhlakul karimah yang tertanaman dalam sosok pribadi mulia Nabi Muhammad Saw.

Melalui makalah ini penulis merangkum beberapa peristiwa yang berlangsung selama masa hidup Rasul Saw yang diambil dari berbagai referensi, sebagai bahan untuk mendalami kembali dan meneladani akhlak Rasulullah Saw. Tulisan ini tidak lain ditujukan sebagai salah satu media bagi penulis khususnya dan pembaca umumnya untuk mempelajari ulang sirah nabawi, pada akhirnya penulis berharap mampu meneladani sisi kehidupan Rasulullah Saw.

B.Reorientasi Maulid Nabi

Mewabahnya gejala sosial meliputi tingginya angka kriminalitas, tingginya angka kemiskinan, dan terbukanya ruang kesenjangan adalah tidak lain karena tidak mengindahkan nilai-nilai kehidupan yang pernah Rasulullah ajarkan.

Kesuksesan Rasulullah membidik dan membangun Madinah sebagai pusat pemerintahan sekaligus peradaban awal Islam adalah bukti otentik yang diakui dunia. Lihat saja bagaimana Rasulullah secara implisit dan eksplisit membangun tata kota dan tata kehidupan yang diluar jangkuan ilmu pengetahuan pada masa itu.

Coba saja pandangi potret kehidupan sosial yang diterapkan oleh Rasullullah selama di Madinah, mempersaudarakan kaum Muhajirin dan Anshar, bersikap baik terhadap tetangga, toleransi terhadap kaum non muslim, mengajarkan nilai kekeluargaan, memberikan solusi terhadap problema rumah tangga, menyantuni dan melindungi kaum fakir yang dihimpun dalam ahli sufah, mengajarkan pentingnya hijab sebagai pelindung diri, memperlakukan anak-anak dengan baik dan adil, menghormati dan menyayangi anak yatim, bersikap baik terhadap budak dan pelayan, mengajarkan adab dan etika dan masih banyak sendi-sendi sosial yang beliau terapkan untuk mewujudkan sebuah tata kehidupan yang harmonis dan dinamis. Geliat perekonomian, administrasi dan perkantoran Madinah, politik dan hubungan diplomatik, serta semarak keilmuan dan peribadatan tidak luput dari catatan kesuksesan kepemimpinan dan menejerial Rasulullah Saw.

Ironis, saat ini di mana benih-benih ilmu pengetahuan semakin tumbuh, teknologi berkembang tak terbendung, komunikasi informasi semakin mudah namun inklinasi kesejahteraan dan harmonisasi kehidupan manusia antar agama, bangsa, dan negara justru di ujung tanduk.

Dalam kesempatan ini penulis tidak akan membahas seluruh aspek kehidupan Rasulullah Saw, yang menjadi fokus penulis adalah pada nilai-nilai yang sepertinya lebih dibutuhkan dan hampir jarang ditemukan dalam tatanan masyarakat Indonesia yakni kesabaran, kedermawanan, dan keikhlasan serta pentingnya meneladani Rasulullah, sebagai reorientasi maulid nabi mementingkan implementasi dari pada seremoni peneladan Rasulullah saw.

BAB II

RASULULLAH  SAW SEBAGAI TELADAN

A.Belajar Hidup Pada Rasulullah Saw

1.Belajar sabar pada Rasulullah Saw

Pasca kepemimpinan Bani Hasyim jatuh kepada Abu Lahab dan tidak adanya bantuan menyebabkan Rasulullah Saw beserta kaum muslimin menerima perlakuan kasar selama di Mekkah.  Orang-orang Quraisy menindas kaum Muslimin yang mengikuti ajaran Rasulullah Saw. lebih dari itu mereka dipaksa untuk keluar dari agama Islam, serta mengusir mereka dari kampungnya.

Ketika itu, kaum Muslimin mengalami dilema yang amat sulit antara pilihan untuk meninggalkan agama Islam, disiksa oleh orang-orang Quraisy, atau lari dari kampung mereka karena takut. Akhirnya sebagian mereka ada yang lari ke negeri Habsyah, Madinah dan tempat lainnya.

Kebencian kaum Quraisy terhadap ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw ditunjukkan secara tegas dan nyata. Suatu ketika Abu Jahal Abu al-Hakam Amr bin Hisyam bertemu dengan Rasulullah Saw, di dekat bukit Shafa. Karena kebenciannya terhadap Islam, Abu Jahal menyakiti dan mencaci Rasulullah Saw. selain itu, ia juga menghina dan merendahkan Islam serta ajarannya. Namun Rasulullah hanya diam dan tidak menghiraukannya. Melihat tidak ada respon dari Rasulullah, Abu Jahal memukul kepala beliau dengan batu dan melukainya hingga kepalanya mengalirkan darah.

Peristiwa-peristiwa yang sarat akan diskriminasi, intimidasi dan celaan terhadap Rasul dan kaum muslim lainnya memberikan pelajaran berharga bagi kita. Pelajaran yang seharusnya menjadi teladan bagi kita adalah kesabaran yang ada dalam diri Rasulullah Saw, hampir tiga belas tahun lamanya beliau menerima perlakuan yang tidak baik selama mensyiarkan risalah tauhid.

Kesabaran yang dimiliki Rasulullah tidak sebatas pada perlakuan buruk yang diterimanya, akan tetapi semua lini kehidupan beliau tidak luput dari nilai-nilai kesabaran. Tekanan di medan perang sebagaimana Bani Quraizhah yang memutuskan perjanjian dan memerangi kaum muslimin yang saat itu sudah berada di Madinah, sementara beliau tetap sabar seraya memikirkan strategi dan bersabda “Bergembiralah dan tunggulah dengan kemenangan dan pertolongan dari Allah” yang ada di dalam jiwanya adalah kesabaran yang tumbuh di atas kesabaran.

Sabda Nabi yang dipaparkan di atas tidak lain merupakan refleksi atas perintah Allah SWT. untuk senantiasa bersabar dalam kondisi apapun, perlu diketahui sesungguhnya akhlak Rasulullah memiliki hubungan yang vertikal atau tegak lurus dengan perintah-perintah Allah SWT. hal ini mengingat apa yang Rasul lakukan, ucapkan, yakni berdasarkan navigasi Firman Allah yang disampaikan melalui malaikat yang bertugas menyampaikan wahyu-Nya.

Sikap sabar yang ditunjukkan Rasulullah Saw. dalam kehidupannya adalah sesuai dengan apa yang dianjurkan oleh Allah SWT. Perintah tentang sabar dapat kita temukan di dalam Al-Qur’an, banyak surat yang di dalamnya menyuguhkan ayat-ayat mengenai perintah untuk bersabar, salah satunya Q.S. Ali ‘Imran : 200, “Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah dan kuatkanlah kesabarannmu dan tetaplah bersiap siaga (di perbatasan negerimu) serta bertakwalah kepada Allah supaya kamu beruntung.”

Ayat di atas menggambarkan orang-orang beriman yang berada dalam situasi tertekan, menghadapi cobaan dan peperangan, sebagaimana dalam ayat sebelumnya (ayat 195) di terangkan kondisi orang-orang yang berhijrah, diusir dari kampung halaman, diperangi serta dibunuh oleh orang-orang kafir. Ayat ini (QS. 3:200) memberikan penekanan khusus pada keutamaan dan keuntungan bersabar bagi orang-orang yang beriman, bersabarlah dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga (di perbatasan negerimu) serta bertakwalah kepada Allah, ayat tersebut menjelaskan betapa pentingnya seorang yang beriman untuk bersabar dan menguatkan kesabarannya dalam kondisi terpahit atau tertekan sekalipun, dan selalu bertakwa kepada Allah yang tidak lain demi mendapatkan keberuntungan yang dijanjikan-Nya.

Ibnu al-Qayim al-Jauziyah berpendapat ayat manapun yang memadukan antara sabar dan takwa, akan mencakup unsur substantif iman dan Islam. Sebab, hakikat takwa adalah mengerjakan perintah dan menjauhi larangan-Nya.

Mengenai kesabaran Abu ‘Utsman seperti yang dikutip oleh Ibnu al-Qayim al-Jauziyah mengatakan, orang yang bersabar adalah orang yang membiasakan diri menghadapi segala hal yang tidak diinginkan. Sabar adalah menempatkan diri dalam posisi sikap yang baik saat ditimpa bencana, sebagaimana sikap yang baik saat dalam keselamatan. Dengan ungkapan lain, seorang hamba mempunyai kewajiban beribadah kepada Allah dalam keadaan suka ataupun duka. Dalam keadaan suka, ia wajib bersyukur, dan dalam keadaan duka, ia wajib bersabar.

Banyaknya kasus moral sosial dan bersifat anarki di lingkungan masyarakat Indonesia perlu diakui disebabkan terkikisnya nilai-nilai kesabaran. Sebagaimana telah dijelaskan di atas pada dasarnya manusia mempunyai kewajiban beribadah dalam kondisi apapun baik suka maupun duka. Dalam duka ia wajib bersabar sedangkan dalam suka ia wajib bersyukur. Dua hal ini menjadi penting untuk direnungkan karena sebagian besar dari kita hanya memahami ujian hanya di datangkan dari arah kesulitan, kesengsaraan dan penderitaan, namun sesungguhnya tidak demikian karena kebahagiaan sekalipun mengandung potensi cobaan yakni cobaan bagi rasa syukur atas nikmat tersebut.

Semenjak Indonesia mengalami krisis ekonomi 1998, secara simultan gelombang ekonomi mengarah kepada masyarakat dan mengancam ranah kesejahteraan. Efek krisis menyebabkan banyak masyarakat kehilangan lapangan pekerjaan, usaha bangkrut dan lain sebagainya, penetrasi inilah yang menyebabkan tingginya angka kriminalitas (pencurian, penjarahan, korupsi dll) dan turunnya taraf kesejahteraan masyarakat.

Berbagai problema silih berganti setelahnya, kasus berbau moral, sosial, SARA semakin merebak. Tidak lain karena kesabaran dirasakan tidak lagi menjadi solusi, apalagi terus menerus bersandar pada kebijakan pemerintah yang sulit diharapkan. Hal ini berdampak pada munculnya efek domino di skala lapisan masyarakat bawah sehingga beragam problema yang dipicu faktor ekonomi, moral, sosial, dan SARA tidak dapat dihindari.

Kasus kriminal atau kekerasan yang didasari permasalahan ekonomi umumnya lebih dominan, himpitan ekonomi tidak jarang membuat seseorang menjadi nekad, gelap mata, dan menghalalkan segala cara. Hal ini mengingat setiap orang memiliki kebutuhan-kebutuhan yang harus dipenuhi demi kelangsungan hidupnya.

Problematika di atas sepertinya tidak akan terjadi, jika setidaknya masyarakat bersandar dan bercermin pada cara hidup Rasulullah Saw. Rasulullah pun mengalami hal serupa, dimana beliau pernah sama sekali tidak memiliki harta benda untuk di makan, bahkan Rasulullah kerap dihadapkan pada ujian sakit, lapar, dan kefakiran sekalipun.

Abu Hurairah berkata, “Aku mendatangi Rasulullah Saw. dan mendapati beliau shalat dengan duduk. Aku tanyakan, ‘Wahai Rasulullah, aku lihat engkau shalat dengan duduk apa yang terjadi padamu? ‘Beliau menjawab, ‘Aku didera lapar yang luar biasa, wahai Abu Hurairah, sesungguhnya sulitnya hisab di hari kiamat tidak akan menimpa orang yang lapar jika ia menahannya di dunia.”

Bagi Rasulullah saw sebenarnya tidak sulit untuk mendapatkan makanan, mungkin para sahabat akan mengumpulkan beragam makanan ketika Rasulullah memintanya. Namun tidak demikian dengan beliau, bahkan beliau seakan-akan tidak mau meminta-minta dan mengharap belas kasihan orang lain. Dalam riwayat Muslim bahwa Nu’man bin Basyir r.a berkata, “Umar r.a. teringat derita yang menimpa manusia karena kekurangan dunia. Lalu ia berkata, “Aku saksikan Rasulullah Saw suatu hari memunguti kurma yang ia temukan untuk sekedar mengisi perutnya.” Hadis tersebut menggambarkan meskipun ditengah himpitan kebutuhan akan makanan Rasulullah saw tidak berputus asa lantas meminta-minta kepada para sahabat atau kaum muslimin lainnya melainkan beliau lebih memilih mengoptimalkan usaha apa yang mampu beliau kerjakan untuk memenuhi kebutuhannya tersebut.

Kesabaran yang sesuai diajarkan oleh Rasulullah bukanlah kesabaran yang berpasrah diri tanpa daya upaya, melainkan sabar dengan ikhlas menerima takdir yang ditetapkan, serta diimbangi dengan usaha-usaha untuk menemukan titik terang atau jalan keluar dari cobaan yang tengah di hadapi.

Salah satu pelajaran tentang sabar yang disertai usaha ketika Rasulullah saw hijrah dan membangun Madinah, meskipun kaum Muhajirin dan kaum Anshar sudah dipersaudarakan namun masih ada sekelompok pendatang yang miskin dan terbelit penderitaan, yang kemudian kelompok ini disebut ahli sufah dikarenakan mereka ditinggal pada sufah yang dibangun oleh Rasulullah di ujung masjid.

Para ahli sufah sebagian besar adalah fakir diantara merka banyak yang tidak memiliki jubah, sarung, atau baju bahkan mereka menerima bantuan sedekah dari Rasulullah saw. ahli sufah belajar di malam hari mendalami agama dan bertadarus Al-Qur’an, sementara di siang hari mereka bekerja memulung biji kurma untuk pakan unta, mengambil air untuk masjid, dan ada yang mencari kayu bakar lalu dijual dan hasilnya dibelikan makanan pokok. Kendatipun para ahli sufah sebagian besar fakir namun Rasulullah saw tidak mengajarkan mereka untuk berpangku tangan dan mengharapkan sedekah terkecuali mereka -ahli sufah- yang dalam kondisi tidak mampu bekerja. Baihaqi dan Thabrani meriwayatkan Rasul bersabda“Berusaha untuk mendapatkan penghasilan halal merupakan kewajiban, di samping sejumlah tugas lain yang telah di wajibkan” beliapun bersabda “Tidak ada satupun makanan yang lebih baik daripada yang dimakan dari hasil keringat sendiri”

Sekalipun Rasulullah Saw tengah di hadapkan pada cobaan kefakiran justru Rasulullah menampakkan puncak kesabaran yang di iringi upaya untuk menyelesaikan ujian tersebut. Upaya yang dilakukan tidak melintasi koridor agama, tidak menghalalkan segala macam cara, tidak menyakti atau merugikan orang lain dan senantiasa berserah diri kepada Allah SWT.

Kesabaran yang dicontohkan Rasulullah saw adalah sebaik-baik percontohan yang harus kita teladani, dengan bersandar pada keagungan salah satu akhlak –sabar- Rasulullah inilah -insya Allah- tata kehidupan yang disertai menjunjung nilai-nilai kearifan local (local wisdom) perlahan problematika moralitas, sosial dan ekonomi terhindarkan. Esensi mengenai kesabaran ditambahkan oleh seorang Ulama besar Turki M. Fethullah Gülen beliau menekankan agar jangan berputus asa dihadapan kesusahan dan jangan menimbulkan anarki, serta jangan pernah putus asa, sebab putus asa mengubur kemajuan manusia, membunuh niat untuk berhasil, dan mencekik serta menjatuhkan kita.

2.Belajar Dermawan pada Rasulullah Saw

Sebagian besar dari kita mungkin masih ingat dengan sebuah hadis yang mengatakan “tangan di atas lebih baik dari tangan di bawah”. Hadis tersebut menjelaskan bahwa tangan di atas sebagai orang yang memberi jauh lebih baik dari tangan di bawah sebagai orang yang di beri atau meminta.

Ketika mendengar kata dermawan mungkin pikiran kita terkoneksi pada status orang kaya atau orang yang memiliki harta berlimpah. Hakikat kedermawanan memang identik dengan harta atau kekayaan, Ibnu al-Qayim al-Jauziyah mengatakan jika persoalan ini dimaklumi, hendaknya diketahui pula bahwa Allah swt memuji beberapa jenis amal perbuatan, begitu pula dengan orang-orang yang melakukannya, yang mana perbuatan-perbuatan itu tidak dapat diwujudkan kecuali jika ada harta. Seperti zakat, infak untuk kebaikan, jihad fii sabiilillaah dengan harta, mempersiapkan tentara yang akan berperang, menyantuni orang-orang yang membutuhkan, membebaskan budak, atau memberikan makan di hari kelaparan.

Jika kita menengok para sahabat Rasulullah saw yang kemudian kita kenal sebagai al-saabikun al-awwaluun adalah mereka orang-orang yang memiliki kekayaan melimpah. Sebut saja Abu Bakar Shidiq r.a., Usman bin Affan, dan bahkan istri Rasullah Sayyidah Khadijah binti Khuwailidi r.a. mereka adalah sosok yang harta bendanya berpengaruh pada prosesi dakwah yang mencapai kesuksesan tiada tara.

Derma atau lebih dikenal dengan istilah sedekah erat hubungannya dengan materi –harta- keterangan tentang sedekah banyak dimuat di dalam Al-Qur’an, surat A-Hadid : 18-19 sesungguhnya orang-orang yang bersedakah baik laki-laki maupun perempuan dan meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, niscaya akan dilipatgandakan (pembayarannya) mereka; dan bagi mereka pahala yang banyak. Dan oang-orang yang beriman kepada Alaah dan Rasul-Nya, mereka itu orang-orang shiddiqin dan orang-orang yang menjadi saksi di sisi Tuhan mereka. Bagi mereka pahala dan cahaya mereka…

Firman Allah di atas merupakan salah satu yang menerangkan keutamaan bersedekah, keutamaan sedekah telah banyak disinggung oleh Rasullah saw. Al-Baihaqi meriwayatkan dari Anas, Rasulullah saw bersabda, bergegaslah bersedekah sebab bencana tidak akan dapat melewati sedekah.

Para muhajirin yang kemudian tinggal di sufah merupakan orang-orang fakir sehingga sebagian besar mereka memperoleh sedekah baik dari Rasulullah maupun kaum muslin lainnya. Menurut Dr. Nizar Abazhah dengan tindakan ini Rasulullah ingin menjelaskan kalau negara Islam berkewajiban untuk memperhatikan dan memelihara fakir miskin dan orang-orang terlantar.

Di dalam memperhatikan dan memelihara fakir miskin Islam melakukannya dengan konsep sedekah selain itu dibantu pula dengan adanya konsep zakat sehingga ditetapkan sebagai penyangga Islam, ketika pemerintahan di amanahkan kepada Umar ibn al-Khatab ahli sufah di bubarkan dengan pertimbangan bahwa waktu itu harta sudah merata sehingga menurutnya situasi tidak lagi menuntut adanya sufah yang diperuntukkan bagi fakir miskin.

Di tengah kehidupan masyarakat masih sering kita jumpai tindakan zhalim seperti pencopetan, penjambretan, hipnotis, penodongan, pencurian dll. Fenomena ini tidak lain karena tingkat kesejahteraan dan pemerataan masyarakat yang masih rendah, dan yang paling penting adalah kepedulian sesama yang masih belum terbangun. Sehingga rasa persaudaraan dan keinginan saling bantu membantu antar sesama belum menjadi pemahaman kolektif dengan kata lain individualisme jauh lebih dominan di banding togetherisme.

Di Indonesia orang kaya semakin banyak hanya saja yang kaya semakin jaya sedangkan yang miskin semakin menderita. Kesenjangan antara orang kaya dan orang belum kaya begitu kental dan nyata, sebagai contoh meskipun keduanya kerap berada pada satu tempat yang sama, orang kaya dan orang belum kaya sering berada di jalan raya hanya saja orang kaya berada di dalam mobilnya sedangkan orang belum kaya berdiri di trotoar-trotoar sambil menengadahkan tangan atu sesekali menggunakan kemasan air mineral –meminta-minta/menegemis-.

Belum lagi jika kita pergi menggunakan tranportasi massa, ancaman tindak kriminal –premanisme- bisa mengancam kapan saja, hipnotis, penodongan dan kasus-kasus lain yang pada intinya adalah intimidasi desakan faktor ekonomi. Semua bentuk kezaliman tersebut cukup sebagai indikator bahwa tingkat kesejahteraan dan pemerataan masih jauh dari yang diharapkan, sebagai akibatnya rasa aman dan nyaman selalu jadi ancaman.

Sebagaimana konsep yang telah diterapkan oleh Rasulullah saw yakni sedekah dan zakat untuk meretas kemiskinan dan kefakiran. Ibrahim an-Nakhi mengatakan, “mereka berpendapat bahwa sedekah itu menjauhkan seseorang dari kejahatan orang yang zalim, menghapuskan dosa, menjaga harta, mengundang datangnya rezeki, membuat hati bersuka cita, mendatangkan keyakinan diri kepada Allah, dan berbaik sangka kepada Allah. Adapun sifat kikir menumbuhkan buruk sangka kepada Allah dan membuat setan berbesar diri.

Memang tidak dapat dipungkiri kezaliman yang kerap terjadi di dasari keterdesakkan faktor ekonomi, maka hanya dengan saling membantu melalui sedekah, infak, zakat hal tersebut bisa di selesaikan. Di samping itu hal ini akan meningkatkan derajat baik si pemberi maupun yang diberi, dengan menjalankan konsep kedermawanan Rasulullah kesejahteraan dan pemerataan dapat diwujudkan.

Dr. M. Syafii Antonio menerangkan sebelum menikah Rasullah saw memiliki kekayaan yang banyak sehingga pasca menikah dengan Khadijah r.a. harta keduanya semakin bertambah, akan tetapi lambat laun harta keduanya habis karena digunakan untuk kepentingan dakwah. Begitupun dengan para sahabat Rasul tidak ada yang merasa sungkan apalagi takut akan kemiskinan, mereka menafkahkan hartanya di jalan Allah membebaskan budak, mempersiapkan tentara yang akan berperang, membangun masjid, zakat dan lain sebagainya.

Sampai pada menjelang wafatnya Rasulullah saw beliau memiliki harta tujuh dinar, beliau menitipkan harta tersebut kepada istrinya Aisyah r.a. untuk disedekahkan kepada fakir miskin, bahkan peninggalan beliau di Fadak dan di Khaibar tidak di wariskan melainkan di sedekahkan sebagaimana Abu Bakar r.a. mengutip sabdanya “Kami para nabi tidak mewariskan. Apa yang kami tinggalkan untuk sedekah”. Sehingga dapat disimpulkan bahwa Nabi Muhammad saw wafat dalam keadaan tidak memiliki harta, karena sepenuhnya harta yang beliau miliki telah habis disedekahkan.

Bukhari dan Muslim meriwayatkan bahwa Ibnu Abbas r.a. berkata, “Rasulullah Saw. adalah orang yang paling pemurah dan keadaan paling pemurahnya pada bulan Ramadhan ketika Jibril mendatangi beliau. Jibril menemuinya pada tiap malam bulan Ramadhan dan mengajarinya Al-Qur’an. Ibnu Abbas berkata, “Rasulullah Saw. lebih dermawan dan pemurah dengan kebaikan daripada angin yang berhembus.”

Kemiskinan dan kefakiran dapat berubah menjadi jurang yang dapat menyebabkan sesorang terjerembab pada kekafiran. Maka sebelum hal tersebut terjadi dan menjangkit masyarakat, dibutuhkan kesadaran bagi orang-orang yang diberi rizki lebih oleh Allah Swt agar bersedekah untuk meretas kemiskinan, sebagaimana para sahabat Rasulullah yang membelanjakan hartanya untuk membebaskan para budak demi menyelamatkan dan menjaga ketakwaan mereka.

3.Belajar Ikhlas pada Rasullulah

Kekayaan Rasulullah Saw bersama Sayyidah Khadijah r.a. sebagian besar dihabiskan untuk agenda dakwah seperti sedekah, membangun masjid, membebaskan budak dll, meski demikian beliau tidak berlaku pamrih atau mengharap imbalan dari siapapun kecuali Allah SWT.

Bentuk keikhlasan yang ditampakkan oleh Rasulullah Saw terlihat dari kisah penawaran atau bujukan yang dilakukan oleh Utbah bin Rabi’ah kepada beliau ketika itu beliau ditawari harta benda yang berlimpah, kedudukan sebagai raja sampai jaminan pengobatan asalkan Rasulullah tidak lagi menyebarkan ajaran Islam kepada masyarakat Mekkah.

Keagungan akhlak Rasulullah tidak tertipu daya oleh tawaran harta benda dan jabatan, melainkan beliau tetap teguh pada perintah Allah Swt. karena bagi Rasulullah Saw. sebaik-baik balasan hanyalah dari Allah Swt.. Al-Qur’an telah menyinggung perihal ini, sebagaimana Q.S Al-Syu’ara : 109 “Dan aku sekali-kali tidak meminta upah kepada kalian atas ajakan-ajakan itu; upahku tidak lain hanyalah dari Tuhan semesta alam.” M. Fethullah Gülen menjelaskan bahwa firman Allah di atas mengisyaratkan kepada kita bahwa para Rasul tidak berharap mendapatkan upah atau imbalan apa pun dari dakwah yang beliau sampaikan kepada umat. Sikap mereka mulai dari Nabi Adam a.s. sampai Rasulullah Saw. adalah sama; tidak berharap apapun dari seruan (dakwah) yang disampaikan kepada kaumnya.

Tugas kenabian dan kerasulan secara langsung di pilih dan di amanahkan kepada manusia terbaik –para Nabi dan Rasul- oleh Allah Swt. maka sudah dapat dipastikan para pemangku tugas –Nabi dan Rasul- tersebut hanya bersandar pada upah atau imbalan yang diberikan oleh pemilik tugas tersebut yakni Allah Swt. Sikap ini tidak lain sebagai manifestasi kepatuhan atau ketundukan terhadap Allah Swt. Hojaefendi M. Fethullah Gülen menambahkan ketika seorang da’i telah berharap imbalan atau pujian dari tugas dakwahnya, maka keikhlasannya akan hilang. Bila ridha Tuhan tidak lagi menjadi pusat orientasi manusia, kualitas kehidupan menjadi rendah. Dengan menjadikan Tuhan sebagai tujuan akhirnya, manusia akan terbebaskan dari derita kehampaan spiritual, karena Tuhan adalah pesona yang Mahahadir (Omnipresent) dan Mahamutlak.

Komaruddin Hidayat dalam bukunya Psikologi Beragama (2010) menerangkan, dalam bahasa agama ikhlas berarti melakukan sesuatu semata untuk memperoleh ridha Allah dan terbebas dari keinginan untuk memperoleh pengakuan atau pujian dari manusia. Orang ikhlas di sebut mukhlis. Pribadi semacam ini akan selalu merasa tenang, mantap, dan tidak heboh, baik ketika dicaci maupun dipuji. Ikhlas itu sebuah rahasia yang hanya diketahui oleh hati nurani dan Allah, bahkan menurut riwayat, setan dan malaikat pun tidak bisa mengetahuinya.

Penting kiranya kita merenung secara mendalam, hakikat keikhlasan di dalam setiap kehidupan yang kita lalui. Betapa sering kita menolong orang lain, bersedekah, zakat, infak, atau hal-hal lain yang berkaitan interaksi dengan orang lain, jika hal tersebut dilakukan tidak dengan kondisi hati yang bersih ikhlas/tulus dan hanya bersandar kepada ridha Allah maka semua yang kita lakukan adalah kesia-siaan.

Tidak ada puncak kenikmatan dan kebahagiaan selain ridha Allah Swt. permasalahan keikhlasan telah menyebabkan seorang intelektual Komaruddin Hidayat hanyut dalam firing questions –bertanya berturut-turut-. Jika kita haus pujian dan tepuk tangan manusia, seberapa lama orang sanggup bertepuk tangan untuk kita? Jika kita hidup mengandalkan belas kasih manusia, seberapa lama dan seberapa besar orang akan mengasihi diri kita? Sudah tentu hidup ini saling menolong, saling mengasihi, dan saling menghargai. Akan tetapi semua itu akhirnya akan berlalu karena kita semua akan terjangkiti lelah, sakit, tua dan mati. Hanya Allah yang tidak pernah lupa memerhatikan diri kita. Jadi ikhlas dan berserah diri kepada Allah dalah sumber kekuatan. Hal tersebut dapat membuat hidup menjadi optimis dan selalu saja menimbulkan senyum pengharapan.

Kita tidak bisa pungkiri bahwa dewasa ini hampir semua lini kehidupan di penuhi money oriented, sebagai contoh layanan pemerintahan, layanan umum yang sarat birokrasi begitu rentan terhadap praktik atau usaha-usaha inklinasi illegal agreement sebagai imbalan dari itu semua adalah dipermudahnya jalur birokrasi, pelayanan cepat sementara yang lain antri dan berbagai macam imbalan lain yang dijanjikan.

Praktik-praktik seperti ini semakin kronis dan lebih dikenal dengan istilah korupsi. Praktik demikian menjadi lebih akut karena semakin hari semakin dianggap lumrah atau biasa, sebagai imbasnya adalah kesenjangan bagi orang-orang menengah kebawah yang selalu di marjinalkan dalam pelayanan atau bahkan tidak dilayani. Beginilah jika keikhlasan tidak menjadi bagian dari hati seseorang, segala sesuatunya akan diukur dengan materi atau imbalan yang akan ia terima. Maraknya korupsi tidak lain karena minimnya atau bahkan tiadaanya keikhlasan dalam bertugas, melayani atau menolong masyarakat.

Bercermin pada kehidupan Rasulullah Saw, beliau begitu ikhlas dalam melayani, menolong dan membina umatnya. Rasulullah Saw. hanya bersandar kepada Allah, sekalipun di imingi imbalan harta dan kedudukan beliau tidak bergeming dan tetap pada jalur ridha Allah Swt. Dengan meneladani keikhlasan Rasulullah Saw maka sebagaimana di atas bahwa ikhlas adalah sebuah misteri yang hanya diketahui oleh nurani dan Allah, tidak menutup kemungkinan kehidupan sosial yang harmonis akan terwujud, cinta antara sesama akan tumbuh, jurang kesenjangan akan hilang dan kepercayaan antara satu sama lain akan terbangun.

B.Rasulullah Saw Sebagai Suri Tauladan

1.Tujuan diturunkannya Nabi

Sebagai umat muslimin kita mendapatkan dua warisan dari Rasulullah Saw, yakni Al-Qur’an dan Al-Sunnah. Keduanya merupakan warisan tiada tara nilainya, sebagai umatnya tentu sudah menjadi kewajiban untuk mengikuti dan menjalankan kedua hal tersebut.

Menurut Said Hawa, kita tidak akan mengambil gambaran utuh tentang akhlak Rasulullah Saw. kecuali jika kita memahami Al-Qur’an dan Al-Sunnah, serta segala yang berhubungan dangan sirah (biografi) Rasulullah Saw.. Akhlak beliau adalah Al-Qur’an, sebagaiman disifati Aisyah r.a. dalam perkataanya, “Akhlak beliau adalah Al-Qur’an.”

Al-Qur’an dan Nabi Muhammad Saw memiliki kesamaan, keduanya diturunkan sebagai penutup dan penyempurna. Al-Qur’an diturunkan sebagi penyempurna kitab-kitab yang diturunkan kepada para nabi dan rasul sebelum Nabi Muhammad Saw, sedangkan Nabi Muhammad Saw sebagai penutup risalah para nabi atau khataminnabiyyin.

Setelah keduanya tidak akan dijumpai nabi ataupun kitab lain yang diturunkan oleh Allah SWT sekalipun nabi Isa a.s diturunkan kembali ke bumi namun status bukan lagi sebagai nabi melainkan al-Masih, maka tidak ada alasan bagi umat muslim khususnya untuk tidak menjunjung dan mengikuti keduanya.

Nabi Muhammad Saw membawa ajaran suci yakni Islam di tengah mewabahnya kehidupan jahiliyah di Mekkah, berbekal perintah dari Allah Swt beliau menghapus nilai-nilai syirik atau penyekutukan Allah, baik itu penyembahan patung, pengkultusan individu serta nilai-nilai lain yang jauh terhadap nilai tauhid.

Tujuan diturunkannya Rasulullah salah satunya adalah untuk memperbaiki atau menyempurnakan akhlak manusia, hal ini dibuktikan dengan membumi hanguskan kebiasaan kebiasan jahiliyah seperti mengubur bayi perempuan, menyembah berhala, memakan bangkai, melakukan kekejian, memutus hubungan silaturahim, bersikap buruk pada tetangga. Hal ini sebagaimana digambarkan dengan tegas oleh Ja’far bin Abi Thalib di hadapan Negus.

Ketika timbul pertanyaan Mengapa Nabi diturunkan Hocaefendi Fethullah Gülen menjawab dengan lima jawaban penting, pertama untuk menerangi jalan manusia beliau menjelaskan Allah mengutus Rasulullah untuk membimbing manusia menuju kebenaran dan membersihkan mereka dari dosa-dosa. Orang-orang yang dicerahkan oleh Rasulullah menemukan jalan menuju Kehadiran lahi dan mencapai derajat kemanusiaan tertinggi. Kedua, untuk membimbing manusia menuju penghambaan kepada Tuhan. Kita diciptakan bukan hanya untuk makan, minum, beranak; ini adalah fakta- fakta alam dari kehidupan dan kebutuhan alamiah kita. Tujuan utama kita adalah mengenal dan menyembah Tuhan. Semua Nabi dikirimkan untuk menunjukkan bagaimana cara melakukannya. Ketiga, untuk mengajarkan hukum Allah kepada manusia, tujuan lain pengiriman Nabi adalah untuk mengungkapkan perintah Allah, (shalat lima waktu, puasa di Bulan Ramadhan, menunaikan zakat, dan tidak melakukan zina, minum alkohol, dan berjudi). Fungsi ini dinamakan kerasulan.

Keempat, untuk menjadi suri tauladan. Nabi di utus sebagai suri tauladan yang harus diikuti dengan sadar. Rasulullah adalah pemimpin kita. Kita shalat sebagaimana beliau shalat, kita harus berusaha meniru kehidupannya. Orang-orang yang mengikutinya selama abad pertama Islam adalah representasi riil dari kehidupan Islam yang sesungguhnya. Kelima, untuk membawa keseimbangan. Semua Nabi datang untuk menyeimbangkan kehidupan materi dan spiritual, akal dan jiwa, dunia dan akhirat dan menikmati dan berpantangan.

Keenam, untuk menjadi saksi Tuhan. Nabi juga dikirim agar manusia tidak berpura-pura tidak tahu di akhir nanti. Jika para Nabi tidak diutus, kita mungkin bisa membantah diadili di akhirat nanti. Allah pasti mengirimkan Nabi-Nabi agar manusia bisa membedakan kebaikan dan kejahatan. Jadi orang-orang tidak bisa berpura-pura tak tahu ketika harus membelas diri atas perbuatan mereka di hari Perhitungan kelak.

2.Pentingnya meneladani Rasulullah Saw

Telah di jelaskan di atas alasan mengapa Nabi diturunkan –jawaban keempat; untuk menjadi suri tauladan. Nabi Muhammad Saw diturunkan dengan tujuan menjadi suri tauladan bagi umat manusia, maka apa yang beliau ajarkan, contohkan harus kita ikuti secara sadar.

Hocaefendi menjelaskan bahwa Rasulullah sebagai pemimpin kita, kita shalat sebagaimana beliau shalat, bahkan kita harus berusaha meniru setiap liuk kehidupannya. Kesabaran, Kedermawanan serta Keikhlasan merupakan pondasi jiwa yang lekat terpatri dalam diri Rasulullah saw. sehingga tidak ada alasan lain untuk kita tidak mengikutinya. Apa yang terucap dari lisannya, apa yang tercermin dari sikap dan prilakunya adalah sunah –ibadah sunah- sunah memiliki dimensi pahala tersendiri, barang siapa yang melakukannya pahala adalah balasannya.

Apa yang beliau serukan kepada ummat bukan didasarkan pada kepentingan pribadi melainkan berdasarkan navigasi perintah Allah, wujud kesabaran, kedermawanan dan keikhlasan beliau adalah sebuah paket yang di sematkan pada pribadi Rasulullah. Hal ini sejalan dengan apa yang di nyatakan oleh sayyidah Aisyah r.a. bahwa akhlak Rasulullah adalah akhlak Al-Qur’an dan Al-Qur’an adalah wahyu yang datangnya dari Allah pemilik alam semesta.

Hakikat suri tauladan adalah contoh, Nabi Muhammad Saw adalah suri tauladan bagi umat muslim khusunya dan umat dunia umumnya, beliau sebagai sosok percontohan yang ideal bagi umat manusia, dengan kompetensi akhlak yang mulia, kecerdesaan yang lengkap, dan pribadi yang kharismatik.

Syafii Antonio menegaskan bahwa Nabi Muhammad Saw adalah teladan yang baik dalam berbagai aspek kehidupan. Tidak ada manusia yang demikian sempurna dapat diteladani karena di dirinya terdapat berbagai sifat mulia.

Sebagai umat yang mengaku dan bangga terhadap kemuliaan sifat dan akhlaknya tidak ada pilihan lain selain mengkuti sunahnya, karena sebuah riwayat menyebutkan “barang siapa yang tidak mengikuti sunahku, maka ia bukan golanganku

BAB III

PENUTUP

A.Kesimpulan

Kesabaran, kedermawanan dan keikhlasan merupakan manifestasi kemuliaan akhlak baginda Rasul Muhammad Saw. Ketiga akhlak Rasulullah tersebut harus kita sifati dalam kehidupan sehari-hari sebagai perwujudan ketaatan terhadap ajarannya.

Ketiga sifat di atas erat kaitannya dengan ranah sosial, apabila ketiganya benar-benar dijlankan ritme kehidupan sosial yang dinamis menyejahterakan niscaya bukan sebuah khayalan. Kesabaran merupakan mental jiwa dalam menerima terpaan ujian baik suka ataupun duka, tidak menisbahkan diri pada keputus asaan melainkan tetap bersabar dengan diiringi usaha yang sesuai sampai ditunjukkannya solusi atau jalan terang terhadap ujian yang tengah dihadapi.

Kedermawanan pun demikian merupakan mental jiwa dalam mengemban amanah rizki, dengan kedermawanan ancaman kemiskinan dan kefakiran diretas menjadi kesejahteraan, tidak berambisi menumpuk atau menimbun harta hanya untuk diri sendiri. Keikhlasan adalah sebuah misteri hanya nurani dan Tuhan sajalah yang mengetahuinya, keikhlasan melayani, mengabdi, dan membantu menjadi faktor kunci terbangunnya keharmonisan sosial dan menumbuhkan tingkat kepercayaan dan cinta sesama.

Semoga dengan terbangunnya tiga mental jiwa yang diinspirasi dari kemuliaan akhlak Rasulullah Saw, kehidupan yang sejahtera dan berkeadilan dapat terwujud di negeri tercinta Indonesia.

B.Saran

Maulid Nabi Muhammad Saw merupakan momen yang strategis dan konstruktif untuk menumbuhkembangkan kesadaran dan kecintaan terhadap Rasululllah. Namun dimensi keistimewaan pribadi Rasulullah tidak semestinya hanya dikaji dan dihayati pada momen ini saja. Semoga upaya menemukenali sosok idola yang sejati dan sebenarnya yakni Rasulullah dapat diakomodir dalam berbagai event diluar momen maulid Nabi Saw.

DAFTAR PUSTAKA

Abazhah, Nizar. 2009. Ketika Nabi Di Kota. Jakarta. Zaman.

Al-Qur’an al-Kariim.

Al-Qayim, Ibnu a-Jauziyah, 2009. Indahnya Sabar. Jakarta. Magfirah Pustaka.

Al-Wahsy Muhammad Asyraf. 2009. Kisah Para Syuhada di sekitar Rasulullah Saw. Jakarta. Gema Insani Press.

Antonio, Syafii Muhammad, 2007. Muhammad Saw, The Super Leader Super Manager. Jakarta. Tazkia Multimedia.

Ghazali, Imam. 2011. Ringkasan Ihya’ ‘Ulumuddin. Jakarta. Sahara.

Gülen, Fethullah M.. 2002. Versi Terdalam Kehidupan Rasulullah Muhammad Saw. Jakarta. Murai Kencana.

Gülen, Fethullah M.. 2009. Muhammad SAW The Messenger Of God. New Jersey. Tughra Books.

Gülen, Fethullah M.. 2011. DAKWAH. Jakarta. Republika.

Gülen, Fethullah M..2011. ISLAM Rahmatan Lil’alamin. Jakarta. Republika.

Hawwa, Said. 2003. AR-RASUL MUHAMMAD SAW. Jakarta. Gema Insani Press.

Hidayat, Komaruddin. 2008. Psikologi Ibadah. Jakarta. Serambi.

Hidayat, Komaruddin. 2011. Psikologi Beragama. Jakarta. Hikmah.

Shihab, Quraish M. 2011. Membaca Sirah Nabi Muhammad Saw Dalam Sorotan Al-Qur’an dan Haditsh-Hadits Shahih. Jakarta. Lentera Hati.

M. Fethullah Gülen, Muhammad Saw, The Messenger Of GOD. Tughra Book. New Jersey: 2005, hal. 5

M. Fethullah Gülen, Versi Terdalam: Kehidupan Rasulullah Muhammad Saw. Murai Kencana, Jakarta: 2002, hal. 3.

Said Hawwa, Ar-Rasul Saw. Gema Insani Press. Jakarta: 2003,  hal. 99

M. Fethullah Gülen. Op. cit. (Versi Terdalam)hal. XXII

Ibid. hal. 6

Asyraf Muhammad Al-Wahsy, Kisah Para Syuhada Di Sekitar Rasulullah Saw. Gema Insani Press. Jakarta: 2009, hal. 27

Ibid, hal. 21

Said Hawwa, Op. cit,  hal.144

Ibnu al-Qayim al-Jauziyah, Indahnya Sabar. Maghfirah Pustaka. Jakarta: 2009, hal. 52.

Ibnu al-Qayim al-Jauziyah, Op. cit,. hal. 27.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun