Mohon tunggu...
A. Dahri
A. Dahri Mohon Tunggu... Neras Suara Institute

Ngopi, Jagong dan Silaturrahmi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Sadar Sampah atau Sadar Diri

14 Maret 2025   18:51 Diperbarui: 14 Maret 2025   21:42 266
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Manusia bukan hanya sebagai makhluk sosial, ia juga memiliki potensi diametral. Manusia sebagai makhluk produktif, di satu sisi sebagai makhluk konsumtif. Ada dampak dan hasil dari setiap kondisi manusia tersebut.

Manusia produktif menghasilkan berbagai aplikasi dari ide kreatifnya, fitrah naluriahnya, yang menunjang kebutuhan primer secara personal, sampai kebutuhan secara komunal. Ini menjadi bukti bahwa manusia memiliki naluri "positif" dalam arti kebermanfaat dan keberpihakan.

Sebaliknya, manusia juga menempati predikat makhluk konsumtif. Karena memang fitrah dan nalurinya demikian, untuk memenuhi kebutuhan lahiriahnya maka perlu makan, minum dan lain sebagainya.

Sebagai makhluk produktif pun konsumtif, manusia kerap lupa dengan apa yang disisakan, sampah misalnya. Mengapa? Saya teringat unen-unen jawa yang berbunyi bahwa "sak gedi-gedine padusan, luwih amba pëcërenë" bahwa sebesar-besarnya tempat mandi bisa saja lebih luas dan besar tempat pembuangannya.

Artinya, kesadaran mitigatif itu sudah ada secara naluriah yang mengiringinya. Seperti sampah plastik, ia ada karena fungsinya sebagai wadah yang praktis, murah juga. Sehingga kesan murah dan praktis itulah yang mengakibatkan lahirnya sikap abai. Abai lantaran dengan harga yang dibawah terjangkau bisa dibeli, kalaupun dibuang juga tidak ada artinya. Kesadaran itulah yang mengiringi dampak dari produksi dan konsumsi manusia.

Tanpa disadari anggapan bahwa keberhargaan itu letaknya pada standar mahal dan murah. Akan berbeda ketika mewah dan biasa-biasa saja. Ketika standart yang digunakan untuk berpikir adalah mahal dan murah maka sama sekali akan mengenyampingkan dampak.

Berbeda ketika standarnya adalah mewah dan biasa-biasa saja, indah dan biasa-biasa saja, elok dan tidak elok. Maka cara berpikir yang digunakan adalah sikap, moralitas, adab dan sopan santun.

Sampah platik, efek rumah kaca, polusi, limbah pabrik, limbah rumah tangga, pasti membutuhkan pembuangan yang dua kali lipat dari hasil produksinya. Maka wajar kalau sungai-sungai menjadi muara dari sampah-sampah yang dipandang murah tadi.

Gerakan sadar sampah, menjadi nafas baru, tetapi bagi siapa? Kita tidak bisa mengukur secara kolektif, mengapa? Orang kebanyakan lebih berpikir praktis dari pada menyisakan 5 atau 10 menit untuk membuang sampah pada tempatnya. Sehingga praktisnya ya di sungai, akhirnya demikian.

Setiap moment adalah pembelajaran, dampak dari membuang sampah sembarangan tentu kita tahu, bahkan isu banjir yang tiap tahun pasti terjadi adalah dampak dari lemahnya kesadaran akan pentingnya pembuangan, pengolahan dan pemanfaatan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun