Mohon tunggu...
A. Dahri
A. Dahri Mohon Tunggu... Penulis - Santri

Alumni Sekolah Kemanusiaan dan Kebudayaan Ahmad Syafii Maarif (SKK ASM) ke-4 di Solo Iswaya.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Senyum Itu Disimpan Saja

30 April 2021   10:56 Diperbarui: 30 April 2021   10:59 339
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokpri. Lukisan Ahmad Dahri

Sejak saat itu, aku juga membicarakan niatku dengan kedua orang tuaku, mereka juga menyerahkan kepadaku, "Asal kamu tidak menyia-nyiakan anak orang, itu saja pesan Bapak." Sambil menghisap dalam-dalam kreteknya.

____________

Anda boleh memilih siapa saja untuk dicintai, tetapi tidak untuk hidup bersama. 

Begitulah kata para cendekiawan, tetapi tidakkan bisa manusia berencana? Agaknya manusia diberi hak untuk itu. Tetapi memang benar, rencana manusia kadang terlampau jauh dengan rencana Tuhan, yang ujug-ujug mengagetkan kita, membuat kita lemas seketika, tapi juga terbang kegirangan seketika itu juga.

Sampai akhirnya saudara Fia angkat bicara tentang hubungan kami. Fia harus focus kuliah terlebih dahulu, kerja, membahagiaan kedua orang tua, baru menikah. Begitu juga buleknya, yang kabarnya juga dekat dengan Fia, ia juga memberi nasihat yang sama. "Nikah itu perkara serius, jadi harus dipikir serius, bulek saja sampai hari ini belum menikah, karena bulek belum merasa serius dan belum merasa mampu untuk itu, jadi dipikir saja dulu mateng-mateng." Fia pernah membahas ini Ketika kami sedang beli bakso di dekat Pasar Merjo sari.

Bakso itu ramai dikerubungi mahasiswa-mahasiswi. Murah, porsinya juga lumayan mengenyangkan. Cukup untuk mengganjal sampai malam. Di sanalah salah perbincangan mulai serius, mulai saling adu argument, saling memberatkan, dilemma, ngeman, dan pasrah. "Wis dijalani saja dulu." Ujarku padanya.

______________

"Rejeki itu sudah ada yang ngatur, manusia tugasnya Cuma berusaha," pesan Pak Ustad Mundzir kala mengisis pengajian pagi. Fia membagikan rekaman itu kepadaku. Dan masuk akal, dari san akita menjadi semangat lagi untuk membicarakan sekali lagi dengan keluarganya. Ibuku juga pernah menanyakan kesiapanku, dan aku menjawab dengan mantap bahwa aku siap menikah. "Ya wis, ibu Cuma bisa berdoa." Sembari mengelum rambutku.

Pekerjaanku, gajiku, dibilang paspasan juga tidak, nyatanya bisa menyisihkan beberapa dalam satu bulan untuk kutabung. Fia juga mengetahui itu. Dan membuatnya optimis. Namun kecintaan keluarga itu kadang membuatnya menangis dan tiba-tiba membuat dadanya sesak, dan beberapa saat suara ditelpon terhenti, setelah agak reda ia melanjutkan pembicaraannya denganku.

Hari-hari setelah pertemuan dengan Abahnya yang kesekian kali menjadi semakin serius, penuh sesak, penuh dengan argument-argumen saling menyalahkan dan membenarkan. Fia sering menangis, bahkan isaknya menempel di bajuku, saat ia bilang bahwa kakaknya tidak menyetujui hubungan kita. Abahnya tak bisa berkutik dengan sikapnya, setelah kakaknya sukses, beberapa kebutuhan keluarga ia sokong, bahkan paman dan bulik-buliknya sering dikirimi parsel Ketika ia pulang dari Sidoarjo.

Menurutnya, kebutuhan akan terus bertambah dan meningkat, pekerjaan dan gajiku belum dikatakan cukup dan siap untuk sebuah "Pernikahan". Suatu Ketika HPku tiba-tiba sibuk dengan beberapa panggilan dan pesan singkat. Aku tak tahu dari siapa, nomornya asing. Tetapi dari kata-katanya aku paham, pesan itu dari kakaknya Fia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun