Mohon tunggu...
A. Dahri
A. Dahri Mohon Tunggu... Penulis - Santri

Alumni Sekolah Kemanusiaan dan Kebudayaan Ahmad Syafii Maarif (SKK ASM) ke-4 di Solo

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen: Bal-Balan

25 April 2021   13:12 Diperbarui: 25 April 2021   21:29 660
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar: Manadopost.com

"Tadi istrimu kesini, ia membawa sepuluh bentel kayu bakar yang ia dapatkan dari lembah, semuanya ranting kering, bahkan ia juga menemukan ranting besar yang lapuk, dan sedompol singkong, katanya ia nemu di tengah lembah." Ujar pemilik bdak.

"Lalu....?" Marhawi dengan mata penasaran.

"Lalu ada dua orang berjaket kulit mendatangi kami yang sedang tawar menawar kayu dan singkong. Ia menanyakan dari mana kayu dan singkong ini, istrimu menjawab apa adanya. tetapi dua lelaki itu bersikeras, bahwa katanya istrimu mencuri. Sampai akhrinya ia diajak ke kantor perhutani di utara lembah."

Marhawi diam seketika, matanya berkaca-kaca namun ia mampu menahan air matanya tumpah. Seketika ia pamit dan menuju kantor perhutani. Sesampainya di sana, ia menemukan Ngat yang duduk termenung di depan menja di sebuah ruang yang ada foto besar seorang pria lengkap dengan seragam prajurit. Pak Toko nama kepala perhutani itu.

Ia memeluk istrinya, ia berbisik, "Kok iso sih bu...?" sambil menyodorkan Tirto ke pangkuan ibunya.

"Aku gak nyolong pak, temenan, aku hanya memungut ranting kering di bawah pohon-pohon pinus, perkara singkong, aku nemu, ia tidak ditanam, ia hanya sebatang." Air matanya berderai

Kemudian ruangan itu sunyi kembali. Sampai akhirnya pak Toko masuk dengan ditemani seorang berseragam polisi, ternyata ia dari polsek terdekat.

"Apapun yang ibu katakan, ibu Ngat tetap salah, soalnya mengambil di lahan perhutani tanpa ijin. Ibu tetap harus mematuhi peraturan dan menjalani proses hukum yang berlaku." Ucap pak Toko, seakan tanpa basa basi dan tak bisa ditawar.

"Saya minta maaf, tolong maafkan kelancangan istri saya pak, saya mohon, kasihan anak saya, ia harus minum susu dari ibunya sebelum ia tidur pulas, ia sering rewel kalau tidak ada ibunya di sampingnya. Tolong pak saya mohon." Pinta Marhawi

Namun, pak Toko dan Pak polisi yang tidak tahu siapa namanya tetap diam, tak bergeming. Lalu menyodorkan surat panggilan dan surat penangkapan ke depan Marhawi, dengan menyodorkan bulpoint sebagai isyarat untuk menandatanganinya.

"Tolong pak, kasihani kami, kami orang susah pak, bapak pasti punya keluarga, punya anak, tolong pengertiannya, saya janji, istri saya tidak akan mengulanginya lagi. Tapi tolong, maafkan istri saya, saya mohon pak." Marhawi sambil berlutut

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun