Mohon tunggu...
A. Dahri
A. Dahri Mohon Tunggu... Penulis - Santri

Alumni Sekolah Kemanusiaan dan Kebudayaan Ahmad Syafii Maarif (SKK ASM) ke-4 di Solo Iswaya.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen: Surau dan Arak Oplosan

15 April 2021   00:32 Diperbarui: 20 April 2021   22:16 504
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi surau. Sumber: Flickr.com oleh Mohd Hafizal Nordin

Tanpa pamit, Darman pergi. Mungkin ia masih mampu menjaga kemarahannya agar redam. Di sisi lain Rendra akhirnya diselimuti rasa bersalah. Tidak enak. Serba tidak nyaman. Tetapi sudah menjadi kewajiban sebagai seorang mulim untuk mengingatkan muslim yang lain. 

Dilema, kadang apa yang menjadi kebenaran menurut kita, belum tentu benar bagi orang lain. Pun sebaliknya, apa yang kotor dan jelek menurut kita, belum tentu bagi yang lain. Dari sini hukum relative menjadi berlaku.  Narendra sedang dalam posisi dilema.

Beberapa jam kemudian, Gempa mengguncang sangat keras. Bahkan merobohkan atap bagian depan surau. Ternyata gempa itu sampai keluar kota. Banyak rumah yang ambruk. Lebih-lebih di daerah bantaran kali kampung coban. 

Masyarakat panik, isak tangis terdengar di mana-mana, genteng-genteng berjatuhan, bahkan tiang listrik roboh. Sungguh awal Ramadhan yang melahirkan tangis. Narendra duduk lemas melihat surau yang roboh bagian depannya. Ditambah beberapa rumah tetangganya yang roboh.

"Apakah ini jawaban atas kesombonganku, karena menganggap orang lain lebih buruk dari pada diriku. Atau menjadi teguran bagiku, ucapan, tausiahku tidak cukup Ketika bencana sudah melanda seperti ini." Gumam Narendra.

Di lain pihak, Darman dan anak buahnya membantu menyisihkan bekas reruntuhan dinding dan genteng milik tetangganya. "Sudah jangan risau, sementara ngumpul di rumahku, sampai rumahmu selesai dibetulkan." Pinta Darman.

Darman yang mendengar bahwa surau roboh, lalu lari tunggang langgan menuju surau. Ia melihat Narendra duduk lemas memandang suraunya. Ia melangkah pelan mendekati Narendra yang duduk. Sedangkan Sebagian orang menggotong dan membersihkan reruntuhan atap surau. Tampak sedih dan susah Narendra. Darman tidak langsung menyapanya. Ia tampak ragu, tetapi ia tetap maju. Sampai akhirnya ia menepuk bahu Narendra.

"Wis..., Rasah dipikir. Bangun maneh Suraune. Aku sing biayai."

"Tapi Kang...?"

"Rasah tapi-tapian, ayo dibangun maneh, sakne wong-wong sing arep traweh."

Narendra tertunduk, antara malu dan bersyukur. Ia tiada lagi berpikir uang apa yang digunakan Darman untuk membangun kembai suraunya, hasil jualan arak? Atau dari hasil judi? Yang Rendra lihat adalah ketulusan Darman. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun