Mohon tunggu...
A. Dahri
A. Dahri Mohon Tunggu... Penulis - Santri

Alumni Sekolah Kemanusiaan dan Kebudayaan Ahmad Syafii Maarif (SKK ASM) ke-4 di Solo Iswaya.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen: Surau dan Arak Oplosan

15 April 2021   00:32 Diperbarui: 20 April 2021   22:16 504
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi surau. Sumber: Flickr.com oleh Mohd Hafizal Nordin

Memasuki malam Ramdhan, Narendra memimpin doa prepegan; istilah lain dari slametan masuk bulan ramdhan. Masyarakat membawa sebakul nasi lengkap dengan lauk pauknya ke surau. Lalu berdoa bersama setelah tarawih, kemudian bertukar berkat; nasi dan lauk yang sudah didoakan tadi. 

Namun sebelum tadarus dimulai, Narendra memberi kultum, diawali dengan bersyukur kepada Tuhan, saling memaafkan dan mendoakan satu sama lain. Kemudian berpesan agar kegiatan-kegiatan yang saban hari dilakukan, seperti judi, mabuk-mabukan sementara ditinggalkan dulu selama bulan Ramdhan. Paling tidak memmberi penghormatan kepada yang sedang berpuasa.

Karena Narendra memberi kultum diperdengarkan melalui pengeras suara di surau, Darman mendengar kultum itu. Sepontan ia membanting asbak dan mengumpat. "Diantjuk...., masih saja dia mengurusi kehidupan kita." Sambil melotot kepada anak-anak dan pekerja yang sering ngumpul setiap malam di rumahnya.

"Kalau yang saya lakukan ini dosa, biar saya yang menanggungnya. Toh..., aku juga tidak minta makan ke Rendra atau keluarganya." Sambil menyulut rokok yang menyempil di bibir kirinya.

"Biasa kang, kiai anyaran." Sahut seorang yang berselendang sarung di depan Darman.

"Kalau begini terus, lama-lama aku mau bikin perhitungan dengan Rendra. Mboh, piye carane." Darman sambil menepuk pahanya.

Puasa di hari pertama, kampung coban terasa sepi dibanding hari-hari biasanya. Mungkin karena puasa pertama, banyak yang menyesuaikan kondisi. Biasanya pagi-pagi sudah menyantap singkong rebus ditemani segelas kopi yang asapnya masih mengepul melawan dingin. Namun pagi itu benar-benar sepi.

Di rumah Narendra pagi-pagi mesin bubut lidi sudah dipanaskan. Tanda kalau sebentar lagi sudah akan digunakan untuk mencacah bambu dan mbubut menjadi seperti lidi. Suranya terdengar bersama aliran sungai yang pelan namun sesekali menghantm batu dan curukan, sehingga arusnya menimbulkan busa dan suara gemericik yang lekat.

Tidak seperti biasa, Kang Darman pagi-pagi sudah lebar matanya. Biasanya ia masih molor. Paling pagi ia bangun jam 12, namun beda dengan hari pertama puasa itu.

Asap mengepul dari mulutnya, sumbernya dari rokok yang dihimpitkan di bibirnya. Ia berjalan menyusuri pinggiran sungai, jalan setapak itu adalah satu-satunya jalan hilir mudiknya masyarakat menuju jalan besar. Jalan itu juga menjadi penghubung kampung satu dengan kampung yang lain, tentu jaraknya lebih dekat. Ketimbang harus memutar lewat jalan besar.

Sesampai di rumah Narendra, Kang Darman menggedor pintu dapur Narendra. Bising suara mesin bubut mengganggu suara Darman. Sehingga anak pertaman Rendra yang mengetahui kedatangan Kang Darman, mempersilahkan masuk. Lalu memanggil ayahnya. Seketika itu mesin dimatikan. Rendra menuju ruang dapur yang bersebelahan dengan ruangan di mana ia membubut bambu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun