Mohon tunggu...
A. Dahri
A. Dahri Mohon Tunggu... Penulis - Santri

Alumni Sekolah Kemanusiaan dan Kebudayaan Ahmad Syafii Maarif (SKK ASM) ke-4 di Solo Iswaya.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Hidup Itu Bahagia

24 September 2020   18:24 Diperbarui: 24 September 2020   18:26 124
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hidup itu beragam tujuannya. Pun beragam pengertiannya. Ada yang mengatakan bahwa hidup untuk mati. Ada juga yang mengatakan hidup itu adalah kesempatan besar mengembangkan diri. Itu semua adalah ruang pemahaman dan penakaran manusia atas hidupnya.

Barusan saya makan di kedai kaki lima di Malang. Di Alun-alun kabupaten lebih tepatnya. Saya bertemu dengan dua sejoli. Kemesraannya mengalahkan pasangan-pasangan seleb ketika di depan kamera. Dua sejoli itu kira-kira menginjak umur 70an. Kedai kaki lima yang menyodorkan menu tahu telur dan mie ayamnya menjadi bukti bahwa hidup bahagia itu adalah cerita yang ingin disampaikan Tuhan kepada hambanya.

Kebahagiaan itu terlihat ketika pasangan sepuh itu saling membersihkan bekas makanan yang ada di sekitar bibir keriputnya. Mbah Kakung mengusap bibir Mbah Uti, pun sebaliknya. Lalu disusul senyum yang mengembang dari keduanya. "Monggo nak...." Sapa keduanya sebelum pergi.

Saya menganggukkan kepala hormat kepada beliau-beliau. Batin saya karuan girang menyaksikan kebahagiaan Tuhan yang tepat di depan mata kepala saya. Tiada syukur yang lebih indah selain menyaksikan tanda-tandaNya.

Saya teringat dawuhnya Ibnu Araby bahwa bahagia itu adalah rahmat yang dijemput oleh hamba, bukan ditunggu berpangku tangan. Bahagia itu ruang sadar manusia. Bahagia bukan sebatas kesenangan materiil, melainkan berkaitan dengan olah rasa, krasa dan karsa.

Bahagia adalah sotyaning lumaku kata Mbah Taftazani dalam seratnya. Ketika hidup dipenuhi oleh penyandaran diri kepada Tuhan, maka bahagia menjadi perilaku sosial yang interaksional.
 
Pendek kata komunikasi kita sebagai hamba dengan kehidupan tidak lain adalah proses penghambaan kita kepada Tuhan dengan penuh cinta kasih. Seperti halnya dua sejoli sepuh yang bergandeng tangan bergerak kelindan menapaki kehidupan yang kian sepuh. Menuju kesejatian.

Lantas apa yang kemudian dicari dalam hidup ini? Dan bagaimana prosesnya?

Jika hidup dimaknai sebagai ruang duniawi semata, maka tidak ada ketenangan dan keluwesan dalam menjalani hidup. Karena jelas, ia hanya akan tertidur pulas dinina bobokkan oleh kemauan yang lainya.

Bagaimana? Jawabannya dengan bahagia. Karena bahagia bukan puncak atau kesimpulan, melainkan premis-premis yang disusun dalam kehidupan. Bahagia adalaha keutuhan proses, baik konseptual maupun kontekstual. Maka wajar jika dalam nalar hindu-budda hidup ini adalah suluk. Suluk substansial baik sosial pun spiritual.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun