Mohon tunggu...
A. Dahri
A. Dahri Mohon Tunggu... Penulis - Santri

Alumni Sekolah Kemanusiaan dan Kebudayaan Ahmad Syafii Maarif (SKK ASM) ke-4 di Solo Iswaya.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Selimut di Ruang Tamu

22 Juni 2020   01:13 Diperbarui: 22 Juni 2020   01:26 79
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sore itu riuh kicau burung memenuhi pepohonan jati yang ada di samping rumah Kasidin. Sambil menumpuk klaras dan sampah plastik yang dikumpulkan dari rumahnya, ia menumpuknya menjadi segundukan klaras yang siap dibakar. Aliran sungai kecil, rupanya sedang tiba jadwal air di bantara sungai itu di alirkan ke desa sebelah. Kepulan asap dari kertas yang disulutnya memenuhi sela-sela sampah yang merongga.

Burung-burung masih saja berkicau menyambut mega yang kian memerah. Pertanda matahari mulai terbenam. Tapi Ayah Kasidin belum pulang jua. Tidak ada tanda-tanda kedatangannya. Motor Grand yang biasa ditumpanginya juga tidak nampak di depan rumah. 

Ayahnya adalah seorang tukang bangunan, beberapa minggu lalu mendapat garapan di desa yang agak jauh dari rumahnya. Bersama dengan tiga orang temannya diminta untuk menyelesaikan garapan nglaci, ngiyit dan mlamir sebuah rumah megah di desa itu. Kabarnya gajinya lumayan, kalau bisa menyelesaikan dalam waktu dua sampai tiga minggu mereka akan digaji sekitar tujuh juta rupiah.

Tetapi malam kian menyelimuti, pepohonan jatipun hanya tampak bayang-bayang siluetnya. Kasidin harap cemas menunggu kedatangan ayahnya. Ternyata sudah hampir empat hari ini ayahnya tidak pulang. Kasidin dan istrinya merasa cemas. Menunggu, setiap hari menunggu. Ayahnya memang tidak hanya sekedar ayah, ia juga bisa menjadi teman bagi Kasidin dan Istrinya yang sedang hamil tiga bulan itu.

Ia merindukannya. Ia pandangi selimut yang biasa ayahnya gunakan ketika tidu. Di ruang tamu, ya ruang tamu adalah ruang serba bisa. Kasidin tidak memiliki kursi, hanya meja dan dua rak buku. Ditambah dengan karpet dan dua tikar  yang menjadi alas untuk duduk, dan tidur ketika kantuk datang. Tetapi malam ini agaknya akan sama dengan tiga malam kemarin. Selimut itu masih tertata rapi menunggu tuannya. Begitu juga dengan Kasidin dan Istrinya.

"Bisa jadi, bapak memang tidak pulang, soalnya capek juga kan? Apalgi paginya harus berangkat lagi," Istrinya menguatkan. Kasidinpun berpikir demikian, tetapi hatinya masih tak tenang. Tidak selega burung yang berkicau sore tadi. Tidak seperti api yang semangat membakar klaras dan tumpukan sampah sore tadi. Hatinya bingung, dadanya berdebar kencang menunggu ayahnya pulang.

Rindu tetaplah rindu yang bisa menyiksa siapapun. Ia akan sembuh dengan perjumpaan. Ia akan lega dengan pertemuan dan perbincangan. Tetapi berbeda dengan Kasidin. Ayahnya tak berkabar, tiga teman ayahnya apalagi.

Mengunjunginyapun tak mungkin. Kasidin harus siap sedia di samping istrinya yang hamil tiga bulan itu. Kasidin hanya keluar ketika ia bekerja dan belanja saja.

Malam ini ia pandangi lagi selimut itu. Selimut berwarna hijau tua itu. Selimut yang kerap kali digunakan oleh ayahnya. Mungkin benar kata pepatah, kalau sudah tiada baru terasa. Tetapi ayahnya masih ada. Masih sehat wal afiyat. Kasidin hanya rindu saja. ia menyimpan kerinduan itu di dalam hatinya. Walaupun sesekali ia tampakkan di depan istrinya. Kasidin menyulut rokok yang nyempil di antara kedua bibirnya. Di benaknya berdialog sangat keras. Di hatinya berdebat kencang. Tetapi ayahnya tetap tidak pulang lagi malam ini.

"Mungkin benar kata istriku, bapak mungkin kecapekan, jadi langsung istirahat di sana, tetapi kenapa tidak berkabar atau minimal pulang sehari saja?" hati Kasidin masih saja bertanya-tanya. Kerinduan itu memang tak tertebak kepada siapa. Tetapi begitulah kerinduan. Terkadang para arif mengatakan, jika rindu sapalah dengan doa-doa terbaikmu. Walau berat, doa itu tak pernah tertolak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun