Mohon tunggu...
A. Dahri
A. Dahri Mohon Tunggu... Penulis - Santri

Alumni Sekolah Kemanusiaan dan Kebudayaan Ahmad Syafii Maarif (SKK ASM) ke-4 di Solo Iswaya.com

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Ibu Hamil? Bapak Juga!

14 Juni 2020   18:23 Diperbarui: 16 Juni 2020   21:30 245
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Sumber: Freepik/jcomp)

Kehamilan seorang istri adalah kebahagiaan tersendiri bagi sang suami. Tentu menjadi kabar baik dan harapan-harapan baik bagi keluarga. Pun sanak kolega.

Masa kehamilan selama sembilan bulan adalah masa pertapaan bagi ibu dan bayinya. Ujaran Jawa mengatakan bahwa si bayi sedang bertapa di kawah Candradimuka. Pun dalam sisi agama dikenal dengan alam kandungan, alam azaly. Di mana proses-proses perjanjian dan perjumpaan antar ruh, jiwa dan raga dengan Tuhan.

Wanita hamil biasanya lebih sensitif. Sensitivitas yang meningkat pesat dari sebelumnya menjadi ciri proses kehamilan.

Maka perlu hati-hati dalam berbicara, bersikap, tingkah lakunya perlu dijaga, tidak menumpuk sampah, tidak makan di tempat tidur, menyisir rambut harus sampai ke bawah, dan lain sebagainya.

Seperti halnya berpuasa, maka banyak sekali hal yang harus dijaga. Tanpa terkecuali batinnya, pikirannya, keinginannya, dan sebagainya. 

Menjaga hawa nafsu tidak hanya ketika berpuasa makan dan minum, tetapi juga sebagai laku sepanjang masa. Karena di samping nafsunya, ternyata ada keinginan yang mendahului pikirannya. 

Hal yang sering dirasakan ibu hamil adalah sakit perut, kram, pusing, ingin ini dan itu: ngidam dan lain sebagainya. Begitu juga dengan puasa. Seakan-akan apa yang ada di hadapannya ingin segera dimakan, tidak sabar menunggu waktu buka.

Tetapi berbeda ketika waktu buka itu datang, paling cukup dengan minum kolak atau es campur atau takjil, itupun hanya sedikit dan tidak seperti bayangan sebelumnya. 

Kesabaran dan ketenangan perlu ditingkatkan. Sejatinya puasa adalah menahan segala keinginan. Begitu juga kehamilan. Ketika banyak hal yang biasa dilakukan sebelum hamil, justru perlu dijaga dan jaga jarak ketika sedang hamil. Seperti halnya yang tersebut di atas.

Segala macam persiapan dirancang sedemikian rupa. Untuk menyambut buah hati yang siap menatap dunia. Baik si istri pun suaminya. Maka hamil itu bukan hanya untuk si istri saja, suami juga merasakannya. 

Tentunya berbeda dengan sang istri yang mengandung, suami lebih pada kewaspadaan dan kesigapan melayani istrinya. Dari menyiapkan makanan yang bergizi, mencuci pakaian, bahkan bersih-bersih rumah, tentunya mencari rejeki yang halal menurut konsep agama. Di samping itu juga mencari uang untuk persiapan persalinannya. 

Bentuk puasa suami biasanya dilarang membunuh hewan, dilarang benci kepada siapapun, dilarang ini dan itu. Artinya ada simulasi perbaikan karakter yang dipengaruhi oleh si jabang bayi. 

Siapa yang tidak berharap anaknya kelak menjadi anak baik? Tentu tidak ada. Oleh karena itu menjaga dari hal-hal yang dianggap mempengaruhi proses kehamilan dari awal sampai akhir, menjadi satu pola membangun kembali karakter kemanusiaannya. 

Peran-peran itulah yang kemudian menjadi daya tangkap seseorang untuk lebih berhati-hati ketika istri sedang hamil. Disadari atau tidak proses penjagaan itu menjadi satu keharusan dalam hidup. Yang mana akan berkelanjutan setelah sang buah hati lahir. 

Mental batin dan dlohirnya sama-sama diasah-tajamkan. Karena tujuan terbaiknya adalah bentuk dari doa dan harapan yang nyata ketika sang buah hati lahir. 

Kalau saja, kehamilan dianggap sebuah kewajaran dalam pernikahan, maka kelahirang sang buah hati tidak akan menjadi impian setiap pasangan. Impian itulah yang kemudian dituangkan dalam doa, dalam sebentuk keikhlasan, kejujuran, ketegaran dan lain sebagainya. 

Jika barokah berarti ziyadah al khoiriyah, meningkatnya moralitas. Maka kelahiran sang buah hati menjadi bentuk dari ziyadah itu sendiri. Bahwa harapan dan doa itu menjadi perlakuan pendidikan kepada anak nantinya. Ia akan bertumbuh seraya doa-doa yang tertuju kepadaNya. 

Dengan kata lain, suami maupun istri memiliki peran yang sama-sama penting, baik dalam kehamilan istrinya, pun kesiapsediaan sang suami dalam menemani istrinya ketika hamil. Karena untuk merasakan kebahagiaan bukan dengan bermewah-mewah, melainkan lahirnya sang buah hati adalah kebahagiaan yang tiada tara.[]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun