Mohon tunggu...
A. Dahri
A. Dahri Mohon Tunggu... Penulis - Santri

Alumni Sekolah Kemanusiaan dan Kebudayaan Ahmad Syafii Maarif (SKK ASM) ke-4 di Solo

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Pendidikan Seks Itu Bukan Seperti Nonton Video Porno

14 Desember 2019   22:42 Diperbarui: 16 Desember 2019   05:03 407
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Liputan6.com

Pendidikan seks adalah ruang untuk menerjemahkan secara keseluruhan wacana-wacana seksualitas. Dan yang perlu digaris bawahi adalah persepsi tentang "seks" itu sendiri. 

Karena tidak sedikit yang beranggapan bahwa sex education itu hal yang tabu untuk disampaikan di depan publik. Apalagi masyarakat luas.

Beberapa hari lalu di daerah saya, di Malang, terjadi penangkapan oknum Guru BK di sebuah Sekolah Menengah  Pertama Negeri, bahwa oknum Guru tersebut telah melakukan pelecehan seksual terhadap belasan siswanya. 

Dengan dalih penelitian dan lain sebagainya. walaupun pada akhirnya ia mengakui pelecehan tersebut benar adanya. kronologisnya bisa anda chek di berbagai media online.

Dari kasus tersebut, tentunya bukan yang pertama, akhirnya muncul beragam asumsi tentang pentingnya sex education. Mulai dikampanyekan di setiap lembaga pendidikan. walaupun masih ada yang berpikiran mesum ketika mendengar kata "sex education."

Menurut saya bukan masalah "sex educationnya" tapi, ya otaknya saja yang mesum. Karena dari dulu tidak ada pola pendidikan seks sejak dini, bahkan di dalam lingkungan keluarga sekalipun.

Semisal begini, pernahkah anda ditanya oleh adik atau anak-anak jenengan, perihal proses kelahiran. "Mas... Mbak...  atau Pak... Bu... aku biyen metu soko ngendi?"  "Aku dulu keluarnya lewat mana?". 

Jawaban yang muncul pasti "Nanti kalau sudah besar kamu pasti tahu" atau yang paling menggelikan dan ini pernah saya alami adalah "dulu kamu lahir lewat ketiak" ada juga yang mengatakan bahka "Kamu keluar dari perut."

Demi menjaga agar anak-anak jauh dari pikiran negatif tentang "seks"  maka disusun jawaban yang masih menuai rasa penasaran. Karena anak-anak memiliki rasa ingin tahu yang kuat. (dikutip dari educenter.id)

Memang "saru" tetapi dalam konteks kejujuran, kan perlu disampaikan  dengan apa adanya, tentunya dengan bahasa yang sesuai. dalam budaya jawa dikenal dengan "sarutama" bahwa kalau benar harus dikatakan benar, begitu juga kalau salah. Bukan berspekulasi dan merangkai jawaban yang akrobatik.


Oleh karenanya sangat penting pendidikan seks itu dilakukan sejak dini. Dengan muatan yang berbeda-beda. Menyesuaikan pada tingkatan usia. Nah kalau masih berpikiran mesum terhadap "pendidikan seks" berarti bukan pendidikan seksnya yang salah, tetapi pola pikir tentang "seks" itu yang salah.

Untuk memperkuat asumsi bahwa pendidikan seks itu penting adalah tulisn mbak Mega S Haruna di Voxpo.id yang berjudul "Ngomong Penis dan Vagina dianggap Tabu, Pendidikan seks dipikirnya urusan Ranjang Melulu." 

Dari tulisan tersebut saya merasa ada satu ketidaktepatan yang terjadi dalam perkembangan pola pikir tentang "seks" di masyarakat, utamanya yang pernah saya rasakan terhadapa diri saya. 

Atau memang sudah dibentuk sebokep mungkin sejak dulu? Sehingga di mana ada pembahasan "seks" maka pikiran-pikiran mesum saja yang muncul.

Seks adalah perbedaan badani atau biologis antara pria dan wanita. Sedang seksualitas adalah ruang yang luas dalam konteks biologis, psikologis, sosial - kultur dan lain sebagainya. Sehingga penenkanannya adalah pada fungsi dan peran "seks" itu sendiri. (pkbi-diy.info/pengertian-seks-dan-seksualitas).

Sehingga pendidikan seks itu bukan seperti nonton video porno. Anak di usai tertentu wajib tahu kenapa ada perubahan fisik di anggota badannya. 

Apalagi yang sudah aqil baligh, mereka harus paham apa itu sperma dan fungsinya, bagaimana proses reproduksi itu terjadi. Bahwa kalau berhubungan intim dan keluar di dalam itu akan hamil, dan lain sebagainya.

Karena manusia dilahirkan melalui proses reproduksi. Sehingga harus ada pendidikan tentang itu, tentang bagaimana merawat dan menjaga kesehatan alat reproduksinya, penykitnya, dan lain sebagainya.

Sehingga tidak seperti analogi warung kopi, jadi pelanggan di sina sini, atau jadi pelayan warungnya - yang didatangi pelanggan silih berganti.

Minimal, ketika anak-anak sudah dewasa, mereka mampu meminimalisir pelecehan seksual di lingkungan belajar atau lingkungan sosialnya. Karena potensi pelecehan seksual itu bisa terjadi di mana-mana.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun