"I'm not entirely comfortable with this."
Itu kata Robert Langdon, tokoh utama dalam novel terbaru karangan Dan Brown berjudul Origin.
Kalimat tersebut dilontarkan sang profesor yang merasa tidak nyaman setelah tahu bahwa Winston, pemandu wisata sekaligus lawan bicaranya, merupakan robot tanpa rupa fisik. Sebuah kecerdasan buatan (artificial intelligence) yang dikisahkan memiliki kualitas interaksi audio hampir seperti manusia sungguhan.
Yang dipermasalahkan Langdon tentu saja bukan robot atau teknologinya, melainkan adab atau etiket berkomunikasinya. Di awal cerita, Winston memperkenalkan diri layaknya seseorang yang bertugas dari jarak jauh. Seiring waktu, perbincangan dan diskusi antara mereka pun kian mendalam.Â
Tanpa disadari, Langdon merasa sangat akrab. Hingga kemudian perasaan menyenangkan tersebut berubah menjadi aneh setelah mengetahui bahwa "kawannya" itu tidak akan bisa ditemui secara fisik.
Sekarang, mari kita kembali ke dunia nyata. Dengan makin berkembangnya teknologi kecerdasan buatan, penerapannya pun makin luas. Termasuk di sektor ekonomi dan bisnis. Berbagai institusi profit baik perbankan, e-commerce, penyedia jasa, dan berbagai macam lainnya berlomba-lomba menerapkan kecerdasan buatan dalam operasional bisnisnya.
Penerapan teknologi tersebut bertujuan untuk meningkatkan efisiensi layanan. Meskipun kecanggihannya belum mencapai level Winston di novel Origin, atau robot Sophia yang diperkenalkan di PBB Oktober tahun lalu, kecerdasan buatan bisa menghemat waktu dan tenaga dan operasional bisnis.Â
Pekerjaan-pekerjaan mendasar dan berulang, seperti menjawab berbagai pertanyaan, menerima komplain dan keluhan, sampai melakukan transaksi bisa dilakukan dengan campur tangan manusia yang minimal.
Sejauh ini, teknologi kecerdasan buatan yang diimplementasikan di Indonesia baru sebatas robot penjawab percakapan tertulis atau chat robot (chatbot). Sejumlah perusahaan, mulai tingkat startup yang menawarkan solusi masalah-masalah gaya hidup kekinian hingga perbankan telah menawarkan layanan chatbot kepada konsumennya.
Seberapa nyaman mereka bercakap-cakap dengan robot untuk kepentingan tertentu? Sayangnya belum ada studi untuk melihat popularitas layanan tersebut dibanding yang melibatkan tenaga kerja manusia.
"Sangat wajar kalau ada konsumen atau masyarakat Indonesia yang tidak bersedia dilayani oleh robot. Karena karakter setiap orang berbeda-beda. Yang jelas, konsumen harus diberitahu di awal layanan kalau mereka akan dilayani oleh robot, dan tetap tersedia opsi untuk mengalihkan pelayanan ke tenaga manusia," ungkap Lodewijk Christoffel Tanamal, Chief Technology Officer (CTO) Bhinneka beberapa waktu lalu.
Pemberitahuan di awal merupakan hal yang penting dalam penerapan teknologi chatbot di Indonesia. Terlebih di industri-industri perdagangan dan jasa, termasuk e-commerce seperti Bhinneka. Pasalnya, ada berbagai keperluan yang mendorong konsumen menghubungi sebuah lembaga publik.Â
Sebagian besar keperluan tersebut bisa diakomodasi dengan chatbot, sebagian lainnya hanya akan efektif bila tetap dilayani tenaga manusia.
"Misalnya untuk pertanyaan alamat toko, nomor teleponnya, jam operasional, email Bhinneka.com dan sejenisnya, tentu bisa dijawab dengan robot. Sedangkan untuk menanyakan harga, rekomendasi produk, memantau proses transaksi tentu masih memerlukan pengembangan lebih lanjut. Apalagi kalau komplain, akan tidak tepat apabila konsumen malah dihadapkan dengan robot," paparnya.
Demikian pula dengan Bhinneka, yang tengah mengembangkan chatbot-nya dan pertama kali ditampilkan di publik Januari lalu. Demonstrasi dipresentasikan Lodewijk dalam salah satu sesi di Internet Retailing Expo (IRX) Indonesia 2018, berupa beberapa basic inquiries.
"Bukan sekadar jadi programmed answering machine, tetapi benar-benar machine learning. Dalam hal ini tentu berkolaborasi dengan teknologi dari luar dan compatible tidak hanya secara teknis, juga secara bisnis. Salah satunya dengan AWS (Amazon Web Service)," beber Lodewijk.
Dalam AWS Summit, Rabu (4/4) lalu di Singapura, Bhinneka disebut sebagai partner e-commerce pertama mereka di lingkup Asia Tenggara. Dari kolaborasi teknologi ini, salah satu aspek yang terdampak adalah progres peningkatan kemampuan chatbot Bhinneka.
Kapankah waktunya, ketika kita bisa bertanya ini kepada robot: "Saya ingin beli ponsel terbaru, harganya di bawah Rp 6 jutaan, Android versi terbaru, dual camera, dualSIM, bagus buat selfie, bisa ditambah memory card, dan warnanya merah, bagusnya yang merek apa, ya?"
Mari kita nantikan saja.