Mohon tunggu...
Arjuna Putra Aldino
Arjuna Putra Aldino Mohon Tunggu... Penulis - Universitas Indonesia

Mahasiswa Pascasarjana, Sekolah Kajian Stratejik dan Global, Universitas Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Financial Pilihan

Stabilitas Keuangan dan Filosofi "Alon-alon Waton Kelakon"

3 Juni 2019   16:24 Diperbarui: 3 Juni 2019   16:30 224
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

Bermula dari sebuah program kredit perumahan yang disebut Subprime Mortgage. Sebuah program yang memudahkan masyarakat Amerika untuk mengakses kredit perumahan. Dengan Subprime Mortgage, masyarakat berpendapatan rendah Amerika mampu mengakses kredit perumahan. Demam Subprime Mortgage memuncak ketika The Fed (Bank Sentral AS) mendapat tekanan dari luar untuk menurunkan tingkat suku bunga, sehingga suku bunga menjadi rendah. Dengan suku bunga yang rendah dimanfaatkan pengembang dan perusahaan pembiayaan perumahan untuk membangun perumahan yang murah dan menjualnya melalui skema Subprime Mortgage.

Semua ini mendorong minat masyarakat untuk mengambil kredit perumahan yang terlihat lebih "murah" dibandingkan kredit yang lain. Perbankan dan lembaga penyedia kredit pun berbondong-bondong dengan penuh semangat mengeluarkan pinjaman kredit kepada masyarakat untuk membiayai kredit perumahan yang sedang booming. Secara permukaan, ekonomi tampak bergairah. Pengembang dan investor pun punya ekspektasi yang tinggi. Perbankan dan lembaga keuangan terus mengeluarkan kredit tanpa henti. Kredit perumahan menjadi produk favorit yang mendadak naik daun. Pasar saham pun terkerek naik. Kondisi ini mengundang aksi spekulasi pelaku pasar yang berimbas pada kenaikan harga-harga properti, terutama properti yang dibeli dengan menggunakan skema Subprime Mortgage.

Ekonomi pun mengalami gelembung, dimana harga aset sudah tak lagi merepresentasikan harga dasarnya seperti harga tanah, ongkos pembangunan, dan margin keuntungan pengembang. Namun ketika The Fed menaikan suku bunga (saat itu ke level 5%), maka suku bunga kredit perumahan Subprime Mortgage pun ikut merangkak naik. Akhirnya masyarakat yang mendapatkan kredit dihadapkan pada kewajiban membayar cicilan kredit yang sangat tinggi.

Syahdan, konsumen kredit perumahan pun tak sanggup membayar cicilan ditengah pendapatan mereka yang stagnan. Walhasil, kredit macet tak bisa dihindarkan. Pada akhir 2006, sebanyak 2,5 juta warga AS yang membeli rumah tak mampu membayar cicilan. Gelembung ekonomi pun pecah. Fannie Mae dan Freddie Mac, dua lembaga penyedia kredit perumahan terbesar di AS pun bangkrut. Semua ini semakin membuat gejolak di pasar uang. Instabilitas sistem keuangan pun tak bisa dibendung. Hingga akhirnya dunia menyaksikan kejatuhan raksasa keuangan Lehman Brothers, yang kemudian berdampak sistemik. Krisis Subprime Mortgage yang berakibat pada kejatuhan Lehman Brothers, meyurutkan ketersediaan likuiditas di pasar modal dan berdampak pada kesulitan pencarian sumber dana bagi perusahaan yang ingin melakukan ekspansi atau pengembangan.

Tak hanya itu, perusahaan yang memiliki aset obligasi ataupun surat-surat berharga lainnya akan mengalami penurunan nilai aset akibat penurunan harga saham dan obligasi secara keseluruhan. Jadi, bukan hanya tidak bisa melakukan pengembangan, namun perusahaan tersebut juga mengalami kerugian yang berdampak pada penghematan operasional, termasuk pengurangan jumlah tenaga kerja, dengan demikian kinerja sektor ril pun ikut terganggu. Inilah dampak sistemik dari kejatuhan Lehman Brothers yang mempercepat dan memperburuk krisis di Amerika Serikat.

Banyak rakyat Amerika yang kehilangan pekerjaan. Bahkan banyak dari mereka yang kehilangan rumah akibat rumah mereka disita oleh Bank karena gagal bayar. RealtyTrac mencatat pengumuman lelang sebanyak 179.599 yang mencakup 2,5 juta rumah yang dinyatakan disita karena gagal bayar. Ini adalah jumlah penyitaan terbanyak selama 37 tahun. Penyitaan besar-besaran ini jelas dapat menimbulkan banyak warga AS menjadi tuna wisma mendadak, dan bisa menjadi masalah sosial baru.

Maka tak lama, krisis finansial pun bertransformasi menjadi krisis sosial dimana pengangguran dan kemiskinan merajalela. Hingga akhirnya krisis finansial melahirkan gelombang protes sekelompok pengangguran berjumlah 14 juta orang, mereka berdemo dan menduduki Wall Street, simbol episentrum perekonomian Amerika. Mereka berteriak dengan lantang sambil mengusung poster bertuliskan "Them belly full, we are hungry" (perut mereka penuh, perut kami keroncongan). Dengan kata lain, instabilitas sistem keuangan berdampak pada instabilitas sosial.

Seharian koran dan layar televisi dipenuhi suratan grafik dari menit ke menit. Deretan angka pun merosot di semua portofolio, harga saham berjatuhan, nilai mata uang pun limbung. Seakan-akan dunia sedang dinujum bencana yang gelap. Sontak para menteri, para pejabat tinggi, dan para teknokrat serentak kecut hati. Dunia seakan sedang diliputi rasa was-was dan berada dalam pusaran mimang. Rakyat Amerika pun dilanda frustasi dan memendam amarah akibat pengangguran dan kemiskinan yang tak teratasi.

Di tengah situasi semacam ini, munculah sosok Donald Trump, yang membawa gagasan tentang "America Great", "America First", menjanjikan kembali kebesaran Amerika serta menuding para imigran kulit hitam dan muslim sebagai kambing hitam segala krisis selama ini. Gelombang ujaran kebencian, diskriminasi dan populisme pun menyeruak. Hingga akhirnya krisis finansial berujung pada krisis politik.

Amerika Serikat pun mengalami apa yang disebut filsuf Jerman, Georg Wilhelm Friedrich Hegel bahwa sejarah kerapkali berulang, ia berulang sebagai tragedi dan berulang sebagai lelucon. Amerika Serikat pernah mengalami tragedi Depresi Besar 1930an dimana krisis finansial menyapu perekonomian AS hingga yang tersisa hanyalah tuna wisma dan kemiskinan. Di tahun 2008, tragedi itu berulang. Akhirnya, sejarah pun tampil kembali sebagai lelucon dimana krisis berulang dengan sebab yang sama dan ketidakpastian yang sama.

Kita kurang belajar dari sejarah. Maka agar sejarah tak lagi berulang sebagai tragedi dan lelucon, kita membutuhkan sebuah kebijakan yang bisa memupuk rasa waspada dan kehati-hatian akan ancaman. Sebuah kebijakan yang bertujuan untuk membatasi risiko dan biaya dari krisis sistemik atau yang disebut kebijakan makroprudensial. Dalam kasus Subprime Mortgage,kegagalan terletak dalam upaya melakukan pemantauan terhadap perilaku perusahaan properti dan konstruksi, pemantauan terhadap kondisi makroekonomi sebagai lingkungan sistem keuangan, serta pemantauan terhadap daya beli rumah tangga.

Kredit perumahan yang diberikan kurang memperhatikan daya beli rumah tangga dimana individu yang memperoleh kredit memiliki profil beresiko tinggi seperti berpenghasilan rendah, terlalu tingginya rasio hutang terhadap penghasilan, serta sejarah kredit yang kurang baik. Dengan kata lain, lembaga penyalur kredit melakukan apa yang disebut predatory practice dimana individu-individu yang sejatinya tidak layak menerima kredit dibujuk dengan berbagai cara dan dengan harapan apabila gagal bayar maka propertinya akan disita dan dijual kembali dengan harga yang lebih mahal. Di lain sisi, bank dan lembaga penyalur kredit terus menyuntikan moral hazard kepada para pengembang dan investor sehingga memicu aksi spekulasi tanpa memperhitungkan systemic market risk, faktor risiko yang mempengaruhi pasar secara keseluruhan, seperti perubahan (atau shock) kondisi perekonomian, perubahan tingkat suku bunga, dan perubahan regulasi.

Maka fokus dari kebijakan makroprudensial yakni bagaimana agar sistem keuangan mencapai keseimbangan dengan memperhatikan kondisi perekonomian secara makro dan pergerakan kebijakan moneter serta menjamin individu institusi keuangan tetap sehat. Seperti yang terjadi pada kasus Subprime Mortgage, ketika penyaluran kredit sudah berlebihan dan terjadi penggelembungan harga properti (bubble), maka kondisi ini harus ditangani dengan kontraksi kebijakan makroprudensial, berupa loan-to-value yang lebih ketat, di mana uang muka harus lebih tinggi untuk pembelian properti agar dapat menurunkan permintaan pembelian rumah dan menahan perilaku spekulatif.

Selain itu, kebijakan makroprudensial memformulasikan tambahan persyaratan minimum permodalan bank sehingga mendorong bank mengurangi perilaku ambil untung (Countercyclical Capital Buffer/CCB). Modal penyangga ini dimaksudkan untuk dapat dipergunakan oleh bank untuk menyerap kerugian pada saat kondisi perekonomian menurun di mana kinerja kredit cenderung menurun. Bagi bank, hal ini akan meningkatkan biaya dananya sehingga mengurangi keuntungannya. Beberapa bank bisa saja mengalami kesulitan untuk memenuhi peningkatan modal minimum ini sehingga tingkat kesehatannya menurun, namun hal ini akan melindungi keseluruhan sistem perbankan yang perlu berjaga-jaga terhadap membaliknya kondisi perekonomian (Bank Indonesia, 2016).

Dengan mengimplementasikan aturan-aturan yang ketat untuk menjaga keberlangsungan institusi keuangan yang memiliki dampak sistemik, maka kita terhindar dari risiko sistemik. Semua ini berangkat dari prinsip bagaimana agar sistem keuangan menjadi lebih berhati-hati (prudent). Sikap waspada dan kehati-hatian adalah nafas dari kebijakan makroprudensial, sehingga resiko sistemik bisa dihindari, stabilitas dan tujuan perekonomian secara keseluruhan yakni kesejahteraan rakyat bisa dicapai.

Layaknya filosofi Jawa, alon-alon waton kelakon, dengan perlahan tujuan itu dapat dicapai. Alon-alon disini bukan berarti lamban, melainkan langkah yang penuh kehati-hatian dengan mempertimbangkan segala aspek dan resiko. Sebuah sifat yang jauh dari ceroboh, atau sembrono yang tanpa perhitungan yang matang. Sehingga dengan kehati-hatian pencapaian tujuan bisa terlaksana tanpa hambatan yang berarti.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun