Mohon tunggu...
Akhlis Purnomo
Akhlis Purnomo Mohon Tunggu... Penulis - Copywriter, editor, guru yoga

Suka kata-kata lebih dari angka, kecuali yang di saldo saya. Twitter: @akhliswrites

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Bagaimana Rasa Saling Percaya Pacu Ekonomi Dunia?

18 November 2016   10:57 Diperbarui: 18 November 2016   12:23 254
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Wanto (kiri) dan Dadang, pengemudi Gojek, melihat orderan dari operator melalui smartphone. (Kompas)

SEHARI-HARI saya menggunakan jasa ojek daring/ aplikasi. Saya sadar Jakarta sudah terlalu banyak kendaraan bermotor jadi saya putuskan tidak memiliki sepeda motor atau mobil. Repot dan makan waktu. Apalagi saya bukan tipe orang yang rela menyisihkan waktu untuk mengelus-elus kendaraan atau memodifikasi. Lebih baik saya habiskan waktu dan uang untuk badan dan pikiran saya, pikir saya. 

Sebelumnya saya seorang pengguna jasa ojek pangkalan. Beberapa pengalaman buruk dengan ojek pangkalan membuat saya urung menggunakannya lagi. Lagipula tidak praktis dan rawan dipungut tarif yang lebih mahal (kena macet sedikit atau melenceng saja sudah minta tambahan tarif).

Kalau saya pikirkan  kembali semua perkembangan teknologi ini, saya heran mengapa saya mempercayai begitu saja setiap pengendara ojek aplikasi meskipun mereka orang yang saya tak kenal sama sekali. Padahal mereka ini juga bukan saudara, dan mereka sama asingnya bagi saya sebagaimana tukang ojek pangkalan.

Bedanya tentu saja mereka terdaftar dalam sebuah entitas resmi yang berkewajiban membina dan mendisiplinkan mereka. Maka jika ada hal-hal yang tidak diinginkan terjadi, saya sebagai pelanggan bisa melayangkan keluhan atau jika memang sangat serius, gugatan hukum.

Itulah hipotesis saya atas alasan kenapa orang mempercayai para pelaku ekonomi berbagi (sharing economy) ini. Beberapa tahun terakhir ini, tren sharing economy seperti Uber, AirBnB, Gojek, GrabBike, dan sebagainya memang tidak lagi terbendung. Salah satu dugaan terkuat saya ialah karena melimpahnya sumber daya manusia di sini sementara ketersediaan lapangan kerja amat terbatas. Kedua, dengan begitu ruwetnya masalah transportasi di Indonesia terutama Jakarta karena pemerintah yang masih belum bisa mengurainya, masyarakat harus bisa menemukan solusinya sendiri. 

Dan inilah caranya untuk bisa melakukan itu. Ketiga, ekonomi dunia yang melemah berimbas pada polaa pikir dan konsumsi orang-orang muda dan masyarakat pada umumnya. Dari yang sangat berorientasi kepemilikan tetap menjadi berpuas diri dengan penyewaan sementara sebab lebih praktis, lebih efisien, lebih murah. 

Dan generasi milenial saat ini sudah dicekoki dengan paham "kejarlah passion-mu", sehingga mereka sekarang lebih sedikit mengejar kepuasan dari materi dan lebih memperkaya diri dengan pengetahuan, pengalaman, pendidikan, dan sebagainya. Terbukti mereka lebih suka bergaya hidup lebih bersahaja tetapi masih bisa berlibur beberapa tahun sekali. Dulu, di masa orang tua mereka, lebih penting punya rumah dan mobil, liburan dipikirkan kemudian. Sekarang, rumah boleh saja masih mengontrak asal bahagia karena bisa hidup dengan passion, memiliki pekerjaan impian yang fleksibel, dan berlibur ke mana saja yang dikehendaki.

Kembali pada kenapa kita mempercayai para pelaku ekonomi berbagi ini, seorang akademisi dari New York University menyatakan pendapatnya. Menurut Arun Sundararajan yang mengajar sains di kampus bergengsi tersebut, rasa percaya itu muncul dalam diri pengguna jasa layanan ekonomi berbagi semacam Uber ini karena orang-orang saling merasa dekat kembali berkat penggunaan teknologi digital yang makin kental dalam kehidupan mereka.

"Selama 40 tahun terakhir, rasa percaya orang di AS turun drastis. Hanya 1 dari 5 orang muda di bawah usia 35 tahun saat ini yakin bahwa orang secara umum patut dipercaya," Sundararjan mengatakan. Tetapi kemudian muncul teknologi digital dan media sosial yang membuat orang makin terhubung. 

Dari sini, orang yang merasa asing satu sama lain tersebut mulai terkoneksi kembali dan mereka saling membaca berdasarkan kehadiran mereka di dunia maya. Meskipun tidak bisa seratus persen valid, apa yang ditampilkan orang dalam media sosial berpengaruh dalam mendekatkan kedua pihak sedikit banyak sehingga tercipta sebuah kedekatan yang awalnya semu tetapi kemudian bisa berlanjut lebih dekat jika di dunia nyata mereka merasakan kesamaan. Kesamaan dalam hal ini misalnya dalam kasus penggunaan layanan ojek aplikasi ialah kesamaan untuk saling-saling menguntungkan. Sopir ojek aplikasi ingin mencari nafkah dengan halal dan pelanggan ingin tiba di tempat tujuan dengan tarif murah, terang dosen yang berdarah India tersebut. 

Tingkat kepercayaan antarmanusia dalam sebuah masyarakat yang meninggi itu, menurut Sundararajan, menunjukkan pertanda baik dalam ekonomi dan perdagangan. "Dalam catatan sejarah, tatkala sebuah masyarakat menciptakan sebuah landasan baru untuk saling percaya, ekonomi akan bertumbuh pesat."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun