Mohon tunggu...
Akhlis Purnomo
Akhlis Purnomo Mohon Tunggu... Penulis - Copywriter, editor, guru yoga

Suka kata-kata lebih dari angka, kecuali yang di saldo saya. Twitter: @akhliswrites

Selanjutnya

Tutup

Gadget Artikel Utama FEATURED

Bahasa dan Kemampuan Bercerita, 2 Tantangan (Ter)Besar Pegiat NFT Indonesia untuk Maju

17 Desember 2021   19:26 Diperbarui: 27 Mei 2022   06:22 1304
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
NFT| Sumber: cryptoadventure.org via Kompas.com

SETAHUN terakhir ini gaung Non-Fungible Token (NFT) makin tak terbendung saja. Di Jakarta, pembicaraan soal NFT ini sudah jamak bak bahan pembicaraan sehari-hari. 

Ini makin dikukuhkan dengan digelarnya event Urban Sneakers Society (USS) yang menjadi tempat bertemunya banyak pihak yang memiliki ketertarikan pada arena baru ini. Dari anak muda generasi Z dan Alpha sampai generasi Baby Boomers pun datang seolah ingin memahami lebih dalam tren global ini.

Saya sendiri mencoba masuk ke dalam dunia NFT dan sempat berbicara dengan seorang pegiat NFT. Ia mengatakan untuk bisa belajar soal NFT dan bisa berbisnis di dalamnya ya tidak ada trik khusus atau jalan pintas. Sama dengan berbisnis di dunia nyata, kita harus membuat jejaring, punya produk, bisa dipercaya, dan sebagainya. 

Ia mengatakan Twitter menjadi jejaring sosial yang paling sering dipakai para pegiat NFT dunia untuk berkerumun dan berdiskusi terutama dengan menggunakan fitur Space. 

Kemudian juga ada platform Discord yang menjadi pengganti WhatsApp dan Telegram yang menurut anak-anak muda ini lebih cocok untuk berjejaring karena Discord memungkinkan mereka melakukan banyak hal yang tak bisa dilakukan via WhatsApp dan Telegram yang sudah banyak dipakai orang tua mereka yang Baby Boomers.

Tapi salah satu pernyataannya yang paling menarik bagi saya adalah kendala bahasa. Language barrier menjadi salah satu kendala utama, katanya. 

Saya paham begitu saya memasuki banyak ruang mengobrol di Twitter Space. Di sini para artists yang memproduksi NFT artworks tak cuma dari Indonesia. Kebanyakan dari Barat (Amerika Utara dan Eropa), sebagian lainnya dari Asia dan Australia.

Tentu mereka bercakap dengan bahasa pergaulan dunia (lingua franca), bahasa Inggris. Di sini sepiawai apapun seorang NFT artist dari Indonesia kalau tak bisa berkomunikasi secara pasif (memahami isi diskusi) dan aktif (berbicara) dengan lancar dalam bahasa Inggris, akan sangat sulit untuk menonjolkan karyanya.

Dari pengamatan saya di Twitter Space ini, tiap ruang obrolan biasanya dipandu oleh sejumlah tuan rumah (hosts) yang biasanya memiliki hubungan dalam bentuk komunitas seniman, lingkaran pertemanan, atau bisa juga komunitas kolektor NFT. Mereka ini biasanya sosok yang dihormati dan vokal di lingkaran mereka, dianggap berpengalaman dan punya misi besar dalam benak mereka.

Seorang peserta di Twitter Space bertema NFT ini biasanya diberi kesempatan memperkenalkan diri dan menceritakan karya-karya yang sedang dikerjakan atau mau dijual ke kolektor. 

Pokoknya mereka harus memiliki kemampuan mempresentasikan karya, membuat karyanya menarik untuk dibeli, dan yang terpenting apa yang membuatnya kredibel dan menjanjikan sebagai seorang NFT artist.

Dan yang tak kalah penting, seorang NFT artist ternyata mesti punya kemampuan bercerita (storytelling skills) juga. Mereka yang antisosial dan susah berbicara di depan publik bisa mengalami 'demam panggung' di Twitter Space seperti ini. Karena di sini, seorang artist harus dengan percaya diri memperkenalkan karyanya dan menceritakan sisi menarik dari karya itu. 

Kenapa harus bercerita? 

Karena ternyata selain diri si artist sendiri, alasan lain kolektor membeli adalah adanya kisah menarik dari sebuah karya. Sebagaimana kita tahu, banyak karya NFT yang tampak 'mudah dibuat' atau sembarangan dan tak memiliki nilai seni sama sekali. 

Coba ambil contoh NFT twit perdana Jack Dorsey di Twitter yang dijual dan laku miliaran rupiah. Gila? Tidak, karena ini bukan cuma semata file JPG sebuah twit tapi sejarah yang ada di balik file sepele ini. 

Jadi seorang NFT artist tidak bisa cuma berbekal bakat seni dan teknologi dan karyanya bakal terjual laris manis begitu saja di pasar. Harus ada proses meyakinkan kolektor dulu agar mereka mau membeli karya itu. 

Dari sini, satu yang saya yakini, bahwa arena, platform, wadah bisa berganti-ganti tapi intisarinya masih sama. Selama kita berhubungan dengan manusia, prinsip-prinsip itu masih akan sama.(*/ Twitter: @akhliswrites)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gadget Selengkapnya
Lihat Gadget Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun