Mohon tunggu...
Akhlis Purnomo
Akhlis Purnomo Mohon Tunggu... Penulis - Copywriter, editor, guru yoga

Suka kata-kata lebih dari angka, kecuali yang di saldo saya. Twitter: @akhliswrites

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Fenomena "Soy Boys": Diperangi atau Diterima?

26 Maret 2021   10:05 Diperbarui: 26 Maret 2021   10:19 1104
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
'Soy Boys': Haruskah diberantas atau diterima? (Foto: Wikimedia Commons)

SOY BOYS, bagi Anda yang baru kali ini mendengarnya, ialah sebuah istilah yang merujuk pada para pria yang menunjukkan karakteristik yang kurang maskulin. Sebutan yang bernada merendahkan ini pertama muncul di komunitas daring dan meluas untuk menyebut para pemuda dengan tampilan dan gaya yang lebih feminin.

Kedelai memang makanan sehat namun di kalangan pria, ada anggapan bahwa kedelai bisa membuat pria makin feminin. Sebabnya karena ada kandungan fitoestrogen dalam produk-produk kedelai. Padahal dari perspektif sains, konsumsi kedelai secara wajar sampai sekarang belum terbukti menyebabkan penurunan kadar testosteron dan mutu sperma pria.

Bagi saya sendiri, fenomena ini sangat erat dengan merebaknya konten drama Korea dan ditambah dengan kebangkitan boyband Korea yang gila-gilaan menyapu seluruh dunia. BTS, misalnya, menjadi satu fenomena global berkat kesetiaan para army yang amat sangat fanatik.

Dalam drama-drama Korea, kita banyak disuguhi cowok-cowok berwajah tampan dan berkulit mulus, bahkan sampai membuat minder para perempuan. Para aktor pria Korea juga dianggap menjadi patokan cowok idaman, misalnya Hyun Bin, Rain, dan sebagainya. Mereka mungkin tegap dan gagah tapi yang lebih ditonjolkan ialah bagaimana kulit mereka bahkan di usia 30-40an masih kencang dan bebas kerutan serta kekeringan. Tak heran karena mereka merawat diri hingga penampilan baik fesyen dan perawatan rambut, muka dan tubuh sangat terjaga prima. Bahkan pria bertata rias dan bergaya pakaian flamboyan sekarang juga sudah dinormalisasi.

Yang mengejutkan ialah respon kaum Hawa di seluruh dunia termasuk Indonesia terhadap para soy boys. Para wanita umumnya menyukai pria yang maskulin dengan tubuh tegap dan otot yang terdefinisi. Namun, kita bisa lihat sekeliling kita para perempuan juga sekarang makin terbuka dan menyambut para pemuda manis dengan tubuh yang tinggi dan ramping minus otot berlebihan ini. Sebagian bahkan menjadi penggemar fanatik. Dan mungkin Anda juga di antaranya.

Fenomena soy boy ini tak urung membuat ekspektasi para perempuan pada pasangan mereka juga berubah. Para pria Indonesia juga terpengaruh sedikit banyak oleh soy boy. Pemuda-pemuda zaman sekarang sudah akrab dengan produk perawatan kulit dan ini juga disambut baik oleh industri (baca: "Pasar Kosmetik Indonesia Menyasar Pria"). Anda lihat saja di minimarket. Produk perawatan kulit pria sudah memiliki etalasenya sendiri. Tak bercampur dengan produk kecantikan perempuan. Ini dimaksudkan agar para pria yang ingin merawat dirinya tak harus merasa malu saat berbelanja. Mereka membeli produk perawatan khusus pria, bukan produk yang dibuat untuk ibu atau pasangan mereka. 

Namun, lain halnya di Tiongkok. Sejumlah kalangan sudah gerah dengan fenomena soy boy. Mereka dikenal sebagai bangsa yang superior sekarang ini, baik di sisi ekonomi, militer, dan sebagainya. Memiliki pemuda-pemuda yang maskulin -- bukan yang lembek dan pandai merawat diri -- dianggap lebih ideal untuk mendukung citra bangsa yang bertangan besi. Tak heran sebagian orang di sana begitu ingin memberantas soy boys sampai mendengungkan adanya krisis maskulinitas.

Untuk mencegah krisis ini berlarut-larut yang bisa mengganggu stabilitas dan keamanan bangsa ini, para pemuda Tiongkok harus diajari bagaimana menjadi pria 'sejati' yang maskulin.

Saya kutip dari NBCnews.com, di sekolah-sekolah Tiongkok kini telah beredar buku teks khusus dengan judul "Pria-pria Kecil" yang mengajarkan bagaimana anak-anak laki-laki harus bersikap dan bertindak. Buku ini diterbitkan Desember 2016 oleh Penerbit Pendidikan Shanghai dan sudah disetujui pemerintah untuk dipakai di kelas 4 dan 5 SD di seluruh penjuru Tiongkok.

Di dalam buku tersebut, anak-anak laki-laki disuguhi penjelasan perbedaan anak laki-laki dan perempuan agar mereka tahu bahwa mereka memang berbeda secara biologis dari perempuan. Perbedaan ini mesti ditanamkan sejak dini agar anak-anak laki-laki tidak ikut-ikutan apa yang biasa dilakukan anak-anak perempuan.

Buku tersebut juga membahas soal pentingnya hubungan erat antara ayah dan anak laki-laki. Ayah wajib memberi teladan soal maskulinitas bagi anak laki-lakinya dalam kehidupan. Yang tak kalah penting ialah anak-anak laki-laki juga harus belajar berinteraksi dengan alam bebas, keluar rumah dan beraktivitas fisik tanpa rasa takut, dan juga mengatur uang sendiri sebab nantinya mereka akan menjadi kepala keluarga.

Sejumlah orang mengeluhkan anak-anak laki-laki mereka saat ini kurang kuat baik secara fisik dan mental. Tak heran, karena anak-anak ini jarang keluar rumah, banyak belajar, kurang aktivitas fisik, dan banyak menggunakan gawai baik untuk belajar dan bermain.

Namun, fenomena ini muncul bukan karena tanpa sebab. Dengan kebijakan satu keluarga satu anak yang diterapkan pemerintahnya di masa lalu, banyak keluarga memilih memiliki anak laki-laki dan memanjakan mereka karena ingin memberikan yang terbaik bagi satu-satunya buah hati. 

Apa daya cara mendidik yang memanjakan tadi malah membuat anak-anak laki-laki di sana banyak yang menjadi lemah dalam karakter dan fisiknya.

Sebagian orang lainnya menyalahkan masuknya pengaruh pria-pria feminin (soy boys) dari negara-negara tetangga mereka (baca: Korea dan Jepang).

Sebab lainnya yang diduga memicu pelemahan anak-anak laki-laki ialah kebanyakan guru di sekolah Tiongkok saat ini adalah perempuan. Para siswa laki-laki dikatakan tidak memiliki sosok panutan maskulin di lingkungan sekolah juga, yang makin menambah parah keadaan.

Namun, ada juga sebagian orang tua yang  tak begitu ambil pusing dengan hal ini. Mereka memandang ini sebagai suatu keragaman sebagai manusia yang mesti dirayakan, bukannya diberangus.

Bagaimana dengan Anda sendiri? Bagaimana pendapat Anda soal merebaknya fenomena soy boy ini? Saya tunggu komentarnya di bawah. (**/ @AkhlisWrites)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun