Buku tersebut juga membahas soal pentingnya hubungan erat antara ayah dan anak laki-laki. Ayah wajib memberi teladan soal maskulinitas bagi anak laki-lakinya dalam kehidupan. Yang tak kalah penting ialah anak-anak laki-laki juga harus belajar berinteraksi dengan alam bebas, keluar rumah dan beraktivitas fisik tanpa rasa takut, dan juga mengatur uang sendiri sebab nantinya mereka akan menjadi kepala keluarga.
Sejumlah orang mengeluhkan anak-anak laki-laki mereka saat ini kurang kuat baik secara fisik dan mental. Tak heran, karena anak-anak ini jarang keluar rumah, banyak belajar, kurang aktivitas fisik, dan banyak menggunakan gawai baik untuk belajar dan bermain.
Namun, fenomena ini muncul bukan karena tanpa sebab. Dengan kebijakan satu keluarga satu anak yang diterapkan pemerintahnya di masa lalu, banyak keluarga memilih memiliki anak laki-laki dan memanjakan mereka karena ingin memberikan yang terbaik bagi satu-satunya buah hati.Â
Apa daya cara mendidik yang memanjakan tadi malah membuat anak-anak laki-laki di sana banyak yang menjadi lemah dalam karakter dan fisiknya.
Sebagian orang lainnya menyalahkan masuknya pengaruh pria-pria feminin (soy boys) dari negara-negara tetangga mereka (baca: Korea dan Jepang).
Sebab lainnya yang diduga memicu pelemahan anak-anak laki-laki ialah kebanyakan guru di sekolah Tiongkok saat ini adalah perempuan. Para siswa laki-laki dikatakan tidak memiliki sosok panutan maskulin di lingkungan sekolah juga, yang makin menambah parah keadaan.
Namun, ada juga sebagian orang tua yang  tak begitu ambil pusing dengan hal ini. Mereka memandang ini sebagai suatu keragaman sebagai manusia yang mesti dirayakan, bukannya diberangus.
Bagaimana dengan Anda sendiri? Bagaimana pendapat Anda soal merebaknya fenomena soy boy ini? Saya tunggu komentarnya di bawah. (**/ @AkhlisWrites)