Mohon tunggu...
Akhlis Purnomo
Akhlis Purnomo Mohon Tunggu... Penulis - Copywriter, editor, guru yoga

Suka kata-kata lebih dari angka, kecuali yang di saldo saya. Twitter: @akhliswrites

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Suka Duka Mengajar Menulis dalam Bahasa Asing

25 Januari 2021   15:40 Diperbarui: 26 Januari 2021   04:22 1304
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mengajarkan keterampilan menulis dalam bahasa asing tak semudah yang dibayangkan. (Foto: pexels.com)

Dan jika kita sendiri tidak bisa berpikir untuk diri kita, orang lain yang akan berpikir untuk kita. Dengan kata lain, orang lainlah yang akan menjadi pemikir bagi kita dan dengan demikian kita hanya akan menjadi pengikut, ibarat seekor domba yang mau saja digiring oleh pemiliknya ke mana saja, bahkan ke jurang atau rumah jagal sekalipun. Karena itulah, menulis sangat penting.

Menulis juga bisa menjadi suatu tolok ukur untuk menguji seberapa dalam pemahaman seseorang tentang sebuah topik atau permasalahan.

Jika seseorang bisa dengan lancar dan sistematis menuangkan informasi atau pengalaman atau apapun yang ia ingin sampaikan dalam bentuk tulisan yang runtut dan sistematis, biasanya dapat dipastikan pemahamannya soal isu atau masalah yang ia tulis itu juga lebih baik daripada mereka yang hanya bisa berkomentar singkat atau menulis status yang cuma 100-200 kata panjangnya. 

Namun, panjang pendeknya tulisan jangan otomatis dianggap sebagai cerminan kedalaman pemahaman karena banyak siswa yang menganggap bahwa makin panjang tulisannya, makin paham dan pandai dia dalam menulis. Padahal jika dibaca ulang, tulisannya berputar-putar. Kalimatnya memang banyak dan panjang tetapi gagasan intinya cuma itu-itu saja.

Jadi, seolah pembaca berputar-putar mengitari satu isu saja tanpa berlanjut ke pokok pikiran lain.

Belajar dari 'Kesalahan' Korsel

Orang cerdas tanpa kemampuan menulis yang memadai juga akan sulit menyampaikan pengetahuan dan pendapatnya yang berharga itu ke khalayak yang lebih luas lagi.

Hal ini dibuktikan dalam sebuah survei yang menyatakan bahwa lebih dari 50% mahasiswa Korsel yang sukses masuk dan menjalani perkuliahan di kampus-kampus bergengsi yang terkenal dengan sebutan "Ivy League" harus menelan pil pahit. Di tengah jalan mereka terpaksa keluar atau berhenti sebelum bisa lulus. 

Padahal kalau kita cermati, di jajaran negara-negara maju (OECD) , Korsel adalah salah satu negara dengan pencapaian mutu SDM yang paling mengagumkan. Prestasi akademik anak-anak sekolah Korsel melesat melampaui AS dan Inggris yang dianggap kiblatnya pendidikan global. Skor-skor anak-anak Korsel di atas rata-rata dan bahkan mereka sanggup mengerjakan soal yang jauh lebih sulit daripada soal yang biasa dikerjakan anak-anak seusianya di negara-negara maju lainnya. 

Lalu apa sebabnya anak-anak Korsel yang 'cerdas' itu gagal di pendidikan tinggi mereka? 

Ternyata pendidikan yang terlalu mengejar skor seperti di Korsel itu kurang mendukung bagi pengembangan keterampilan berpikir kritis yang vital dalam proses menulis.

Mereka hanya diajarkan untuk menyerap dan menyerap tanpa diberi kesempatan menanggapi, entah itu menolak atau menerima atau menerima dengan syarat/ alasan tertentu. Mereka kehilangan kesempatan untuk menyuarakan pikiran dan pendapat mereka karena sudah dibentuk menjadi 'robot penghapal'. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun