Mohon tunggu...
Akhir Fahruddin
Akhir Fahruddin Mohon Tunggu... Perawat - Perawat

| Mahasiswa Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan Universitas Gadjah Mada | Bachelor of Nursing Universitas Muhammadiyah Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Potret Rumah Ilmu, antara Realita dan Idealita

10 Agustus 2019   07:00 Diperbarui: 10 Agustus 2019   07:19 256
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Pengajar| Gambar oleh Bowie15 dari Kompas Lifestyle

"Pendidikan adalah pemotong mata rantai kemiskinan" demikian ungkapan Muhammad Nuh, mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. 

Menelaah lebih mendalam, apa yang disampaikan Mendikbud memang benar jika kita menilik hakikat pendidikan yaitu menghadirkan keadilan bagi segenap masyarakat yang membutuhkan serta terwujudnya pemerataan bagi mereka yang belum tersentuh oleh akses pendidikan. 

Kita tidak bisa memungkiri bahwa pendidikan sudah menjadi kebutuhan bagi masyarakat, sehingga berbagai strategi dan kebijakan dibuat oleh pemerintah untuk menekan kesenjangan yang ada guna meningkatkan indeks pembagunan manusia seutuhnya sesuai dengan tujuan pembangunan nasional.
 
Masalah seperti buta aksara, pengangguran dan ketersediaan sarana dan prasarana menjadi kerja mutlak yang harus direalisasikan agar mutu dan layanan pendidikan bisa menjangkau kriteria yang dihajatkan Undang-undang.  

Adanya bantuan berupa Kartu Indonesia Pintar (KIP), Bantuan Operasional Sekolah (BOS) juga beasiswa Kementrian Keuangan (LPDP) atau beasiswa dari luar negeri untuk anak-anak Indonesia setidaknya bisa mengurangi kesenjangan pendidikan yang ada. 

Sejauh ini, pelaksanaan program tersebut cukup membuat mereka terbantukan dari sisi pembiayaan dan ketersediaan sarana dan prasarana pendidikan.

Harapannya adalah mereka bisa menikmati kue pendidikan layaknya masyarakat lain. Wajar, ini tanggung jawab Negara sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945 pasal 31 yang menegaskan bahwa tiap-tiap warga Negara berhak mendapatkan pendidikan dan pemerintah wajib menganggarkan 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara untuk menunjang proses pelaksanaan pendidikan baik untuk mutu dan pembangunan fisik.
 
Antara Realita dan Idealita
 
Kesadaran untuk memanusiakan manusia (Humanizing of human being) merupakan pondasi pendidikan yang diterjemahkan dalam sistem pendidikan itu sendiri. 

Perguruan tinggi sebagai rumah ilmu juga berfungsi sebagai laboratorium yang memberi peluang dan kesempatan kepada peserta didik untuk menumbuhkembangkan pemikiran kritis (critical thinking), analisa kritis (analytical thinking) juga wadah kematangan sikap dan kepribadian. 

Education for all sebagai sebuah prinsip setidaknya memberikan dampak bahwa pendidikan sejatinya untuk seluruh masyarakat dan proses pendidikan harus menekankan pada pendekatan yang humanis.
 
Apakah idealita ini sudah berlanjut dalam proses pendidikan itu sendiri? Kenyataan yang terjadi saat ini belum menyentuh ranah itu. Di sebagian Universitas, masih menyisahkan pola dan paradigma lama tentang belajar mengajar, ada paradoks dalam tubuh Universitas yang menekankan bahwa setiap mahasiswa harus dicetak sama, kebenaran utama adalah pendidik dan proses pendidikan seperti pabrik gandum dimana output menghasilkan produk yang homogen.
 
Sebagai rumah ilmu, lembaga pendidikan sejatinya dapat menghindari hal tersebut. Mahasiswa pada dasarnya unik dan berbeda karena mereka datang dari pengalaman yang berbeda, keunikan berbeda serta visi dan misi hidup yang berbeda pula. 

Kenyataan bahwa lembaga pendidikan sekedar menghasilkan (output) terlihat dari bagaimana proses yang terjadi di Universitas tersebut, mereka seolah senang dengan hal demikian padahal esensi berupa (outcome) pendidikan masih luput dari harapan yang ada. 

Misalnya, Universitas mengharuskan kumpulan mahasiswa keperawatan untuk menjadi perawat semuanya, padahal boleh jadi diantara mereka ada sebagian yang memiliki jiwa usaha untuk menjadi seorang pebisnis, jiwa organisatoris untuk menjadi pemimpin dan jiwa pembelajar untuk menjadi dosen atau pengajar.
 
Melihat kenyataan ini maka pola lama tidak hilang dari jiwa pendidikan itu sendiri. Student Learning Centre yang menjadi tujuan dan harapan malah bias dan bertolak belakang dengan prinsip-prinsip pembelajaran yang sebenarnya. Rumah ilmu hanya sebagai tempat mengolah bukan mendidik, proses humanisasi berubah menjadi dehumanisasi. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun