Mohon tunggu...
Hanif Sofyan
Hanif Sofyan Mohon Tunggu... Full Time Blogger - pegiat literasi
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Buku De Atjehers series

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Apa Nama Panggung Politik Kita?, Politik Benci Tapi Berkoalisi

14 Oktober 2022   09:41 Diperbarui: 26 Oktober 2022   10:33 227
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

ilustrasi gambar -ricuh di parlemen-kompas.com

Sebentar lagi pemilu, buat apa ribut sampai berdarah-darah kalau akhirnya yang bermusuh-musuhan bergabung dan bersatu atas nama negara. Jangan sampai baper memilih calon sampai berkelahi. Terkadang apa yang kita pikirkan, ternyata bukan yang "mereka" pikirkan. Jadi santai sajalah!.

Begitulah kurang lebih pesan Najwa dalam orasi politiknya di sebuah acara. Bukan sekedar benar pernyataannya, karena terbukti begitulah politik bermain dan dimainkan. Maka muncullah koalisi kamuflase, politik dagang sapi, konsolidasi politik atau apapun yang ditujukan untuk eufemisme atau penghalusan atas apa yang disebut oleh orang pintar politik sebagai barter suara dengan posisi kuasa penting.

Lingkaran Politik Tanpa Akal Sehat

kelahi-di-parlemen-6348ce3408a8b551a63a1db2.jpg
kelahi-di-parlemen-6348ce3408a8b551a63a1db2.jpg
ilustrasi gambar -kelahi di parlemen-merdeka.com

Fenomena inilah yang sering membuat para pendukung parpol dan calon dukungan parpol menjadi bingung dan sakit hati. Lihatlah dalam ruang debat politik para pendukung seorang capres atau kandidat cagub, senator sampai harus bersitegang leher, siram-siraman air di forum resmi debat atau dialog, sampai harus mempermalukan diri karena menunjukkan jati diri seorang yang sentimentil atau temperamental.

Bahkan ada yang aneh, ketika seorang calon yang jelas-jelas punya riwayat korupsi atau sejenis collar white crime, teryata di bela mati-matian oleh para pendukungnya. Dan ketika pada akhirnya palu hakim memutuskan keputusan pengadilan tetap, maka si calon bukan di giring ke gedung dewan, tapi justru ke hotel prodeo.

Barisan pedukungnya justru melakukan kunjungan ke penjara sebagai bentuk dukungan moril, dan jika perlu berdemo untuk meringankan hukumannya. Atau jika terlanjur basah, maka ditunggunya si tokoh bebas dari penjara.

Sikap permisifme dalam politik kita memang bisa membuat kita hilang akal sehat. Menjadi gelap mata dalam menyikapi segala persoalan politik selama itu berhubungan dengan calon pilihannya.

Meskipun di baliknya kita meyakini ada "bayaran" balas imbal jasa politik yang telah tersedia, entah uang atau jabatan. Minimal masuk dalam lingkaran politik.

Lingkaran politik memang problem lingkaran setan yang membuat seorang tokoh politik berusaha untuk tak lepas dari kedudukannya. maka tak heran jika dalam dunia politik, para pemainnya adalah para incumbent yang itu-itu saja.

Jika didasarkan pada sebuah pemikiran, jika bukan "orang yang itu-itu saja" lantas siapa penggatinya?. Persoalannya adalah banyak politikus baik yang sulit masuk ke dalam lingkaran politik yang sudah terlanjur kotor. Untuk memasuki wilayah kotor itu para wakil baik harus membuang dulu para wakil kotor. Namun disanalah persoalannya, seolah dunia politik itu kotor dan hanya mereka yang memiliki watak sejenis itu yang "boleh atau bisa" memasukinya.

Tentu saja pendapat ini akan banyak dibantah, padahal realitasnya banyak benarnya sekalipun. Meskipun tak di-amini oleh para politisi atau para pejabat, namun siapa saja yang tidak menganut keyakinan Machiavelli akan sulit masuk atau sulit bertahan lama jika sudah berada di dalam.

Kucing Dalam Karung 

Jika pada awalnya seorang tokoh adalah tokoh populis, menjadi media daring, ketika masuk dalam lingkaran politik, pelan namun pasti akan terkontaminasi yang membuatnya bisa berubah haluan. Faktornya terlalu banyak, ada "pembisik" dan "influencer politik" yang bermain dalam lingkaran politik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun