Mohon tunggu...
Hanif Sofyan
Hanif Sofyan Mohon Tunggu... Full Time Blogger - pegiat literasi
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Buku De Atjehers series

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Minyak Untuk Presiden, Sebaiknya Kencangkan Ikat Pinggang, Bukan Menaikkan Harga

7 September 2022   10:50 Diperbarui: 17 September 2022   19:44 373
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Keluhan masyarakat bawah yang muncul adalah "pemerintah yang salah kalkulasi, tapi rakyat yang menanggung". Dasar analisisnya, kenaikan harga BBM akan menyedian ruang fiskal lebih bebas untuk belanja produktif, termasuk melakukan perbaikan dalam sasaran penggunaan BBM.

Dari sisi angka, Kementerian Keuangan mengatakan, risiko beban subsidi tanpa kenaikan harga adalah Rp698 triliun hingga akhir tahun, padahal alokasi yang tersedia sekitar Rp502 triliun.

Kini setelah harga BBM subsidi dinaikkan, anggaran untuk BBM diprediksi tetap membengkak menjadi Rp650 triliun - meningkat lebih dari empat kali lipat dibanding anggaran APBN 2022 sebesar Rp152,5 triliun.Perkiraan subsidi itu dihitung berdasarkan kuota Pertalite 29 juta kiloliter dan solar 17,4 juta kiloliter, harga minyak dunia dan nilai tukar mata uang.  

Itu artinya selisih anggaran BBM dinaikkan atau tidak tetap berada di bawah Rp50 triliun.  Artinya tetap saja terjadi pembengkakkan, jadi kenaiakn BBM bukan solusi cerdas dan tepat, justru memperumit masalah ekonomi nasional kita.

Menurut pengamat ekonomi energi dalam berbagai sumber, keputusan menaikkan harga BBM merupakan bentuk ketidaksesuaian antara masalah dan solusi, dan tidak akan menuntaskan akar masalah kecanduan BBM. 

Kekuatiran kita dalam situasi transisi ekonomi, akan ada dampak ikutan terhadap 64 juta pelaku UMKM yang sedang bergerak menuju ekonomi normal, sehingga akan menjadi pukulan yang sangat disayangkan, namun seperti diabaikan oleh pemerintah.

Solusinya, pertama; mestinya pilihan pemerintah tetaplah melakukan pengetatan pengawasan yang risikonya lebih rendah daripada menaikkan BBM seperti saat ini. 

Menurut Direktur CELIOS (Center of Economic and Law Studies) Bhima Yudhistira, dengan pengetatan pengawasan BBM, pemerintah masih memiliki ruang fiskal dalam menjaga harga BBM. 

Atau kedua; memilih solusi memangkas anggaran hingga, ketiga; membubarkan kementerian atau lembaga yang menjadi beban negara. Atau keempat; memangkas proyek-proyek infrastruktur yang masih dalam tahap studi kelayakan, sehingga tidak menimbulkan kegaduhan dalam internal pemerintah.

Cara lain, kelima;  adalah melakukan renegosiasi utang melalui DSSI (Debt Service Suspension Initiative) dalam G-20. Jadi sebenarnya banyak cara kreatif yang dapat dipilih daripada kebijakan tidak populis dan "seperti tindakan bunuh diri" saat ini.

Direktur Riset CORE Indonesia, Piter A Redjalam menilai, pilihan pemerintah mendasarkan kenaikan BBM pada masalah subsidi juga tidak pada tempatnya dan salah kaprah. Alasannya, ini adalah bentuk komunikasi yang salah, bahwa penikmat subsidi sebenarnya adalah kalangan rakyat kecil.

Jadi cara menikmati subsidi BBM tidak harus membeli BBM. Lebih dari itu, subsidi berperan membuat inflasi relatif, harga tidak melonjak, pertumbuhan ekonomi cukup tinggi dan terbuka lapangan kerja. Inilah dampak positif yang selama ini dinikmati kelompok miskin. Inilah logika sehat yang sebenarnya harus dipahami oleh pemerintah.

Anggaran subsidi dan kompensasi akan jauh lebih bermanfaat apabila dapat digunakan untuk kesejahteraan rakyat dan pembangunan. Menurut Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara, Dana Rp502 triliun kalau dipakai bangun rumah sakit dapat 3.000, bangun sekolah dasar dapat 227.000, atau dapat 41.000 puskesmas. 

Atau kalau dipakai untuk jalan tol dapat 3.500 km jalan tol. Mengapa pemerintah tidak berpikir sejauh itu?. Siapa yang harus disalahkan?.

ilustrasi gambar - mobil LGCC - tirto.id
ilustrasi gambar - mobil LGCC - tirto.id

Dampak Terhadap LGCC

Harusnya pemerintah kritis dan berempati dengan kondisi perekonomian saat ini. Intinya kebijakan pilihan pemerintah semestinya harus mengetatkan pembatasan dan pengawasan penggunaan BBM, sehingga beban subsidi dapat diminimalisir, tanpa perlu menaikan harga BBM. Contoh, tetapkan pembatasan Pertalite dan solar hanya untuk sepeda motor dan angkutan umum. Lalu masyarakat mampu itu dipaksa migrasi ke Pertamax.  

Penetapan ini secara spesifik juga akan berdampak pada jenis kendaraan apa saja yang boleh mengisi BBM jenis pertalite, dan jenis apa yang tidak.

Nah bagi para pengguna kendaraan atau bagi calon pemilik kendaraan terpaksa harus mulai berpikir bagaimana caranya bertahan dari kebijakan pemerintah yang tidak populis dan tidak pro rakyat ini. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun