Mohon tunggu...
Hanif Sofyan
Hanif Sofyan Mohon Tunggu... Full Time Blogger - pegiat literasi
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Buku De Atjehers series

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Mengapa Keluarga Kaya Bisa Kena Stunting?

31 Januari 2022   20:30 Diperbarui: 2 Februari 2022   12:58 390
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kekuatiran PBB tersebut beralasan karena rekomendasi hasil penelitian The Lancet adalah; "Kekurangan nutrisi pada balita di fase awal kehidupan akibat dampak mendalam pandemi Covid-19 dapat menciptakan konsekuensi antar-generasi untuk pertumbuhan dan perkembangan anak dan dampak seumur hidup pada pendidikan, risiko penyakit kronis dan pembentukan manusia secara keseluruhan".

Apakah Pemerintah Terlambat?

Mau tidak mau Indonesia sebagai salah satu lima besar negara dengan prevalensi stunting tinggi juga ketar-ketir. Pemerintah merasa telah serius menangani masalah stunting ini, bahkan secara  khusus, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia menggelar forum bertajuk "Food Security, Nutrition, and Health: Harnessing Multi-sectoral Partnerships for the Post-2015 Development Agenda.

Apa fokusnya?, mencari kaitan antara peningkatan status gizi dengan tingkat kesejahteraan masyarakat dan menentukan peran tiap pemangku kepentingan dalam meningkatkan ketahanan pangan dan nutrisi.

Apa hasilnya?. Sektor ekonomi bisa saja terus tumbuh, tapi tidak berbanding lurus dengan kasus stunting, yang terus menjadi hantu. Gizi kurang masih menjadi masalah besar kesehatan masyarakat di abad ke-21 ini. Data WHO mencatat bahwa terdapat 162 juta balita penderita stunting di seluruh dunia, dimana 56% berasal dari Asia. Indonesia bahkan termasuk dalam lima besar negara dengan prevalensi stunting tertinggi di Asia-Afrika.

Prevalensi tinggi itu disebabkan karena masih terjadi salah paham dalam memahami "apa itu makanan yang bergizi" sebagai makanan mahal. jadi kampanyenya juga harus meluruskan salah persepsi itu, dan memastikan dengan pemahaman yang benar, bahwa bahan makanan yang bergizi bisa dijangkau semua kalangan.

Jadi gembar-gembor ketahanan pangan dan nutrisi yang bombastis, bukan sekedar soal jumlah bahan makanan yang tersedia, tapi juga kandungan gizi di dalamnya. Jadi memperhatikan ketahanan pangan artinya mengubah pola pikir definsi hidup yang sehat dan seimbang". Bukan makan makanan mahal agar terpenuhi cakupan gizi.

Apa langkah kongkrit dan paling logis mengatasi problem itu?. Keterlibatan para pihak, institusi pemerintah, sektor swasta, akademisi, dan organisasi masyarakat sipil dalam program Rencana Aksi Pangan dan Nutrisi Nasional harus  menjadi komitmen utama. Dan itu artinya integrasi yang baik antar program, keleluasaan dalam penganggaran, dan kekuatan kelembagaan untuk mencapai ketahanan pangan dan mempercepat perbaikan nutrisi dibawah Peraturan Presiden no. 42 /2013 tentang Gerakan Nasional Percepatan Perbaikan Gizi. Kebijakan ini menekankan konsep mengenai betapa pentingnya 1000 hari pertama kehidupan bagi seseorang.

Jadi dibutuhkan keseriusan total, tidak lagi menganggap solusi stunting hanya sebagai agenda business-as-usual.

Tantangan Baru Stunting selama pandemi

Kondisi termutakhir selama pandemi, memicu masalah baru. Krisis sosial dan ekonomi akibat pandemi virus corona berpotensi menyebabkan hampir tujuh juta anak mengalami stunting akibat kekurangan gizi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun