Mohon tunggu...
Hanif Sofyan
Hanif Sofyan Mohon Tunggu... Full Time Blogger - pegiat literasi
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Buku De Atjehers series

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Bagi Penyandang Disabilitas, Peduli dan Prihatin Itu Beda Tipis

5 Desember 2021   00:56 Diperbarui: 21 Desember 2021   12:24 156
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Thisablekaskus.com

Apa yang pertama terlintas di benak kita ketika bertemu dengan seorang penyandang disabilitas?. Munculnya rasa kasihan, atau justru kita merasa bahwa mereka sosok yang kuat, tidak menyerah. Dalam keterbatasan mereka tetap eksis, diantara kita yang normal.  Setiap orang bisa berperan membantu "melengkapi" kekurangan hak-hak para penyandang disabilitas, minimal menghargai keberadaanya, memahami kondisinya, mendorong kiprah mereka agar setara dengan kita yang normal. Kita bisa memulainya dengan hal sederhana, memposisikan diri menjadi sahabat mereka. Getok tular penyebaran  kampanye SOS Disabilitas-Semua Orang Sahabat Disabilitas, yang intens, dapat menjadi sebuah gerakan sosial yang besar.

Memberikan bangku bagi sahabat kita penyandang disabilitas dalam sebuah moda transportasi, membantunya di eskalator, menyeberang jalan dalam sebuah traffic jam, meskipun bisa dimaknai sebagai wujud "kepedulian", bisa dimaknai sebagai bentuk "keprihatinan dan rasa kasihan". Tidak semua penyandang disabilitas "menerima" perlakuan seperti itu, karena mereka merasa, dengan segala kekurangan, mereka masih memiliki potensi. Namun perhatian itu tetap harus menjadi bagian dari upaya kita menghargai keberadaan mereka. Termasuk dengan tidak menggunakan fasilitas khusus milik mereka dan memprioritaskan penggunaannya untuk mereka.

Cobalah lihat, bagaimana Angkie Yudistia, seorang penulis dan CEO, dengan keterbatasannya justru membuatnya menembus batas disabilitas, menciptakan kreatifitas. Menerbitkan dua buku berjudul “Perempuan Tunarungu Menembus Batas” dan “Setinggi Langit”. Menjadi finalis Abang None Jakarta,  bahkan kini Angkie sukses menjadi founder dan CEO Thisable Enterprise. Organisasi untuk menampung para penyandang disabilitas yang kemudian dibina dan dilatih keterampilan dasar agar bisa bersaing dalam dunia kerja. Bagaimana dengan kiprah kita yang lebih beruntung?. Mereka justru selangkah lebih maju di depan kita. Tak hanya memikirkan dirinya sendiri, kekurangannya, mereka justru lebih peduli, melibatkan diri secara intens di ruang publik .

Bagaimana mereka mendapatkan hak-haknya, bagaimana mereka melawan stereotif dan diskriminasi adalah sebuah tantangan yang tidak sederhana. bahkan dalam urusan penyebutan istilah penyandang cacat dan penyandang disabilitas berpengaruh pada cara pandang orang terhadapnya.

Merujuk pada UU No 4 Tahun 1997 tentang penyandang cacat, dan Convention on the Rights of Persons with Disabilities (CRPD), penggunaan istilah-istilah lama tersebut harus segera dibenahi. Publik harus mengetahui perubahan informasinya dengan benar, sehingga menjadi satu kesepahaman. Termasuk implementasi perubahan tersebut secara administratif. Kemensos juga sudah memastikan melalui Kementerian Dalam Negeri agar dalam sistem administrasi kependudukan, tidak lagi menggunakan istilah cacat, tetapi penyandang disabilitas sesuai dengan UU No 8 tahun 2016. Hal itu sangat penting, karena penggunaan istilah lama, menggiring pemahaman orang pada sebuah stereotif yang menyudutkan para penyandang disabilitas pada kondisional mereka secara langsung.

Mereka juga membutuhkan tranparansi informasi, bahkan akses yang lebih besar daripada sekedar menjadi pembaca berita. Menurut UU No 40 tahun 1999 menyebutkan bahwa ada hak masyarakat untuk mengetahui, mendapatkan berbagai informasi yang cepat, akurat dan benar, untuk melakukan pemantuan, serta pentingnya liputan tentang disabilitas. Wahana komunikasi bisa diakses, bisa dimanfaatkan oleh publik dan penyandang disabilitas. Bahkan penyandang disabilitas bisa terlibat didalam kepemilikan, penyimpanan, pengolahan, dan menyampaikan kembali informasi yang diperoleh kepada pihak luar baik tulisan, suara, gambar, dan berbagai data terkait. Dengan luasnya akses tersebut, para penyandang disabilitas juga membutuhkan akses terhadap hak-haknya terkait literasi.  Akses terhadap pendidikan, aksesibilitas-literasi Braille, pelayanan publik, berekspresi, berkomunikasi dan memperoleh informasi.

Para pihak harus mendorong kondusifitas, bagi berkembangnya pemberitaan tentang penyandang disabilitas yang lebih positif. Terutama untuk mengurangai kesenjangan dan peluang timbunya risiko-risiko sosial yang justru mendiskriminasi keberadaan para penyandang disabilitas, seperti kekerasan, penelantaran, bullying . Kita harus memastikan literasi bagi disabilitas melalui asistensi rehabilitasi sosial, literasi berbasis keluarga dengan pendekatan yang lebih personal dan intim.

Kebutuhan penting lainnya bagi penyandang disabilitas adalah tentang Habilitasi dan Rehabilitasi. Selama ini fokus kita dalam penanganan masalah para penyandang disabilitas, lebih pada program rehabilitasi. Bagaimana jika penanganan dapat dilakukan lebih dini, agar tingkat penyembuhan dan rehabilitasinya bisa lebih awal. Selain Rehabiltasi, kini pemerintah juga  memberikan banuan atau layanan Habilitasi. Habilitasi dalam PP 75 tahun 2020 tentang Layanan Habilitasi dan Rehabilitasi bagi Penyandang Disabilitas adalah proses pelayanan yang diberikan kepada seseorang yang mengalami disabilitas sejak lahir untuk memastikan penyandang disabilitas mencapai dan mengembangkan kemandirian sesuai dengan kemampuannya secara spesifik sehingga dapat beraktifitas dan berpartisipasi penuh dalam semua aspek kehidupan.

Penanganan sejak dini penting, karena  penyandang disabilitas, juga memiliki banyak ragam disabilitas. Dalam UU No 8 tahun 2016, menyebut ada kategori fisik, intelektual, mental, sensorik dan ganda atau multi. Perbedaan tersebut juga berpengaruh pada bagaiman kita merespon, memberi bantuan jika dibutuhkan. Hanya saja, seringkali ragam disabilitas ini tidak cukup terinformasikan secara luas kepada publik. Pemahaman yang keliru juga bisa menyebabkan informasi masih bias, seperti dalam kasus penderita autis dan cerebral pasty, yang membutuhkan cara-cara yang lebih etis untuk disampaikan ke publik, dan dapat disalahpahami oleh publik dengan penyamarataan. Padahal beda kondisi beda penanganan. Hal ini penting, terutama agar publik, lebih peka dan lebih peduli dan tepat cara, dalam memberi perhatian kepada penyandang disabilitas khusus tersebut.

Penanganan secara dini berdasarkan ragam disabilitas, dapat memberikan solusi lebih efektif, yang memungkinkan penderita disabilitas dapat ditangani dan direhabilitas sejak awal  dan berkemungkinan bisa sembuh atau minimal dapat mengurangi benturan dengan risiko-risiko sosial.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun