Untuk mengajar ia akan mempersiapkan bahan ajar dan segala rencananya yang tebalnya seperti sebuah skripsi enam bulanan. Fatalnya dulu harus ditulis tangan.Â
Belakangan beruntung sudah mulai dapat di ketik dengan tuts komputer pribadi (jika punya), bagi yang tidak terpaksa (mungkin) harus mengupah, bahkan untuk semua RPP-nya sekalian. Perkara ini jelas mengurangi kesejahteraan, sekalipun jumlahnya mulai bertambah.
Makin ke sini, pekerjaan administratif makin menggila, sehingga sehari-hari lebih disibukkan dengan "urusan administratif" daripada peran sebagai tenaga pendidik.
Melihat aktifitas istri saya, saya berpikir, apakah pekerjaan yang saya sebut sangat administratif itu, menganggu pekerjaannya sebagai tenaga pengajar-dan konsentrasinya mengajar.Â
Apakah pekerjaan "tambahan" itu menganggu konsentrasinya dalam mengimplementasikan keilmuan pendagogiknya?
Karena di tengah kesibukan ini-itu, mengurus murid baik, apalagi yang bermasalah, pekerjaannya menjadi makin tak terkira jumlahnya.
Bahkan urusan administratif, jam mengajar yang jumlahnya menjadi ukuran rezeki tambahan-gaji tiga bulanan seringkali terasa menjadi beban yang luar biasa.Â
Beberapa temannya bahkan rela mengajar di sekolah lain di jam-jam kosongnya demi mengejar jumlah jam mengajar agar sesuai standar minimum-gaji tambahan per tiga bulanan.Â
Apakah idealisme Oemar Bakrie, masih melekat pada semua tenaga pendidik kita saat ini. Apakah mereka sekedar menjalankan rutinitas-formalitas belaka?Â
Apakah moralitas masih sepenuhnya menjadi perhatiannya, apakah guru-guru yang "salah tempat" juga masuk ke ruang sekolah karena demi formalitas.
Dulu, guru-guru saya selalu bilang, kalau mau jadi orang kaya, jangan jadi guru, karena yang dibutuhkan kaya hati. Tapi sekarang profesi guru menjadi incaran banyak orang, termasuk para calon mertua yang sedang mempersiapkan calon untuk putra atau putrinya.Â