Mohon tunggu...
Hanif Sofyan
Hanif Sofyan Mohon Tunggu... Full Time Blogger - pegiat literasi
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Buku De Atjehers series

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Ekosistem Itu Bernama Kopi

29 Januari 2021   23:00 Diperbarui: 29 Januari 2021   23:20 752
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.acehnews.id/

Orang dengan segera tergila-gila, ketika Pasqua Rosee seorang eksentrik Yunani menawarkan minuman kental berwarna hitam yang diberi nama kaveh, alias kopi untuk pertama kalinya di London tahun 1652. Ekspektasi penerimaan kehadiran kopi cukup unik. Lantaran musabab air di kota London dianggap tercemar polusi berat dan tak layak diminum, maka pilihan pengganti jatuh pada alkohol, diikuti konsekuensi sosialnya yang buruk.

Lantas kopi muncul sebagai pilihan baru yang dianggap lebih rasional, dan hadir tak sekedar menjadi 'minuman belaka' tapi juga pemberi solusi masalah.

Kopi diyakini memberi efek stimulan yang membuat orang cepat tersadar dari mabuk berat, lantas bisa berpikir lebih jelas. Maka rumor ini dengan cepat membuat si emas hitam, kopi menjadi primadona baru, bahkan dianggap dapat mendatangkan inspirasi dan menjadi katalis dari pemikiran yang murni.

Maka benarlah ujaran Mark Pendergrast dalam Uncommond Grounds, bahwa ritual menyeduh kopi memang untuk menyegarkan stamina dan menguatkan konsentrasi sebagai bagian dari penguatan ritual keagamaan para Sufi Arab yang membutuhkan kedua komponen itu.

Tak berhenti hanya disitu, lantas kopi melambungkan kelahiran coffee house, seperti kedai kopi atau caf dan dengan cepat muncul menjadi 'ruang sosial' baru. Persis momentumnya seperti kedai kopi Aceh paska tsunami. Siang malam 'para lelaki' memanfaatnya menjadi ruang kongkow, dan sayangnya para perempuan justru 'terpinggirkan" dari ruang baru itu. Coffee house menjadi rumah kedua, bahkan sebagiannya menjadikannya rumah utama.

Coffee house menjadi tempat bertemu relasi, menghilangkan jenuh, bahkan menjadi semata ruang hiburan tanpa tendensi apa-apa. Toh ruangnya itu hanya 'diperuntukkan' untuk para lelaki.   Dengan cepat 'kedai kopi'   menjadi 'dunia maskulin baru' dan menjadi simbol maskulinitas para lelaki ketika itu.

Atas perubahan sosial dan kelahiran budaya baru ini, para wanita yang 'termarginalisasikan' dan merasa kehilangan para prianya, melakukan protes dengan menggulirkan sebuah petisi; Women's Petition Agains Coffee di tahun 1674.

Mereka melempar isu, kopi dapat menyebabkan mandul dan impotensi, bahkan berpengaruh pada turunnya tingkat kelahiran nasional. Meskipun usaha ini tak berhasil, namun karena musabab  keluarnya kebijakan perdagangan nasional yang berupaya mendorong munculnya komoditi teh ke pasaran, maka kopi kemudian menyusut popularitasnya.

Seperti layaknya pemerintah di belahan dunia manapun, ketika 'kepentingan' mereka lebih kuat maka kebijakan, menjadi senjata utama untuk merobohkan hegemoni pesaing termasuk rakyat sendiri.

Kompleksitas Ekosistem kopi

Kelahiran dan kehadiran kopi sebagai 'ruang sosial' dan 'budaya baru' memang menimbulkan gesekan sosial dan budaya atas nilai-nilai tradisi. Meskipun sesungguhnya kelahiran kopi juga karena tradisi, dalam konteks dinamika panjangnya jejaring ekosistem kopi di Indonesia, apalagi Aceh.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun