Mohon tunggu...
Hanif Sofyan
Hanif Sofyan Mohon Tunggu... Full Time Blogger - pegiat literasi
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Buku De Atjehers series

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Pilihan

Tanpa Filolog, Bahasa Lokal = Dinosaurus

29 Januari 2021   14:22 Diperbarui: 29 Januari 2021   23:53 280
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Disatu sisi menjadi keunggulan karena bahasa lokal terus tetap diperdengarkan dalam komunikasi sekalipun dikalangan terbatas. Disisi lain dengan terbatasnya pendokumentasian maka dalam rentang waktu tertentu bahasa-bahasa lokal tersebut bisa saja hilang dengan sendiri seiring dengan berkurangnya jumlah penutur asli (native speakernya).

Bisa karena persoalan tehnis, sebagaimana kondisi yang tengah melanda kita saat ini, salah satunya dengan perubahan kultur dan budaya seiring waktu yang telah menghilangkan beberapa komponen alat kerja tradisional yang kemudian berpengaruh pada, berkurangnya penggunaan kosakata tertentu seiring dengan berubah fungsi dan hilangnya alat bantu kerja tradisional tersebut. 

Tidak heran jika saat ini, sebagian anak-anak kita tidak lagi mengenal kata 'bleut' (penutup dari anyaman daun kelapa) atau 'jiue' (alat penampi beras), karena telah beralih menjadi mesin perontok padi. Persoalan itu menjadi salah satu poin yang harus dikritisi secara mendalam.

Persoalan tersulit dalam kerja digitalisasi adalah pemahaman tulisan atau huruf aksara pada naskah kuno, karena keragaman bahasa dan aksara. 

Hal ini pastilah sudah dirasakan oleh kolektor kitab Aceh Tarmizi A. Hamid yang telah malang melintang dalam dunia naskah Aceh sejak 20 tahun lalu. 

Dan dalam proses inilah diperlukan filolog; orang yang ahli dalam memahami aksara kuno. Filolog tidak hanya punya tugas menyelamatkan kandungan isi pada naskah, tetapi fisiknya juga harus dilestarikan. Minimnya orang yang berkecimpung dibidang ini, konon lagi di Aceh menjadi indikasi masih minimnya kepedulian dan kecintaan masyarakat terhadap budaya yang semakin lama semakin kurang dari waktu ke waktu. 

Pemahaman yang masih minim menjadi salah satu sebab mengapa bidang ini belum mendapat tempat yang semestinya. 

Ditambah lagi, budaya pada muatan lokal yang belum intensif dan belum serius digarap oleh pemerintah di daerah, sebagaimana  dikemukakan Kepala Bidang Transformasi Digital, Muhammad Kodir. Bahkan menurutnya masyarakat asing justru lebih tertarik dengan budaya lama Indonesia ini.

Memory of the World

Sebagai catatan, di antara naskah-naskah kuno yang ada ada di Indonesia, terdapat dua naskah yang sudah mencapai kancah dunia. Naskah Negarakertagama dan Babad Diponegoro yang telah diakui menjadi memory of the world (MoW) atau 'Ingatan Dunia' oleh UNESCO beberapa bulan lalu. 

Dan berikutnya yang akan menyusul adalah cerita Panji dan Babad Padjadjaran serta naskah Imam Bonjol. Naskah yang sebelumnya hilang dan muncul kembali ini sangat penting untuk ditetapkan sebagai warisan dunia. (republika; wawasan 9/12/2015).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun