Mohon tunggu...
Hanif Sofyan
Hanif Sofyan Mohon Tunggu... Full Time Blogger - pegiat literasi
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Buku De Atjehers series

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Ngompol Film American Chaos dan Democrazy Ala Trump

10 Januari 2021   00:46 Diperbarui: 10 Januari 2021   15:57 381
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

https://www.imdb.com/title/tt8420442/

Kali ini Amerika ketiban batunya. Sebagai negara yang konon katanya punya iklim demokrasi ideal, sehingga sering bertingkah seperti mahaguru demokrasi, justru dibikin runyam oleh sosok mantan presidennya sendiri. Trump menjadi duri dalam demokrasi negara yang dipimpinnya sejak 2016 silam.

Trump hingga detik ini tetap bersikukuh tidak mengakui kekalahannya dalam pilpres 3 November 2020 dan bersikeras tinggal di Gedung Putih, meski hanya sampai 20 Januari 2021 mendatang. Apakah ia sudah tak bisa lepas dari nikmatnya "kursi panas" presiden, atau ketakutan meninggalkan Gedung Putih yang membuatnya tak "kebal" lagi atas berbagai tuntutan hukum?.

Trump dan para pendukungnya membuktikan fakta-fakta sikon yang tidak pernah terjadi sebelumnya di Amerika (unprecendented) . Selain menolak kekalahan secara sistematis, mengkonsolidasi kekuatan perlawanan, tidak kooperatif dalam masa transisi dan fatalnya lagi bertindak anarki dengan melakukan penyerbuan massa ke gedung Dewan dan menduduki ruang Capitol Hill.

Realitas Amerika hari ini, seperti pembuktian Film Dokumenter, American Chaos karya James D. Stern. Film yang sinopsis pendeknya hanya menjelaskan tentang ; seorang pria yang mencari jawaban atas dukungan luas Donald Trump (Republik) sebelum pemilihan presiden 2016, dalam perseteruannya memperebutkan kursi Amerika #1 melawan Hillary Clinton (Demokrat).

Kebebasan berpendapat membuat Stern mepresentasikan uneg-unegnya dalam bahasa yang satir, bahwa, "seorang non-politisi tidak memiliki urusan untuk memimpin negara!". Tentu saja pandangannya ini bisa jadi didasarkan pada pertanyaan besar, bagaimana mayoritas pemilih menempatkan kepercayaannya pada Trump, dengan begitu banyak sisi yang menuai pro-kontra?. Stern bilang, "Ada yang terasa sangat salah, dan saya perlu mencari tahu alasannya". Stern juga menyebut sebagai, perjalanan menuju kampanye kepresidenan paling kontroversial. Apakah persisnya prediksi Stern membenarkan, siapa sosok Trump yang diragukannya tersebut?.

Terlepas dari sudut pandang Demokrat dan Republik, sebagaimana di utarakan Bohemianrh, ini adalah sebuah jurnalisme berani dan berwawasan yang terus memiliki relevansi. Dalam realitas saat ini, film dokumenter tersebut seperti menjadi sekuel, tentang Trump sebagaimana diulas Stern. Hari ini Trump menunjukkan karakter sebenarnya yang  jauh diluar prediksi para pemilih. Persis seperti diulas Matt Zoller Seitz, bahwa cerita pemilihan presiden dari musim pertama hingga kontes terakhir, dengan pemenang yang mengejutkan dan mungkin  yang paling dekat dengan penulis utama dari kekacauan dalam  American Chaos itu sendiri.

Apa sesungguhnya ketakutan yang tersembunyi dan quo vadis Trump paska kekalahan elektoralnya, dan harus hengkang segera dari kantor kepresidenannya?.Ulasan Kristie Pladson untuk dw.com/id, adalah hal yang paling realistis sebagai jawaban atas banyak pertanyaan di ruang publik.

Kebijakan "kekebalan presiden", yang dikeluarkan Departemen Kehakiman AS pada tahun 1973, selama skandal Watergate-Presiden Richard Nixon, telah mencegah pengadilan mendakwa presiden selama berkuasa. Ini menjadi "alat" bagi Trump bebas dari hukuman, dari berbagai persoalan kriminal dan perdata atas praktik bisnisnya  dan kasus hukum lainnya.

Bisa jadi Trump akan menjadi presiden As pertama yang  menggunakan kekuasaan konstitusionalnya untuk memanfaatkan grasi presiden untuk "memaafkan" dirinya sendiri. Terutama untuk mempertahankan perlindungan hukum dan perlindungan finansial dari tumpukan utang selama masa jabatannya. Setidaknya penyelidikan pajak Trump oleh New York Times mengungkap adanya hutang lebih dari 400 juta dolar AS (Rp.5,65 triliun) kepada Deutsche Bank. Selanjutnya pengembalian pajak sebesar 72 juta dolar AS (sekitar Rp.1 triliun pada 2010, dan audit atas klaim kerugian Trump sebesar 1,4 miliar dolar As (Rp. 19,8 triliun) pada 2008 dan 2009.

Selanjutnya, konflik kepentingan Trump yang menjadikan kesepakatan bisnis potensial untuk mempengaruhi kebijakan luar negeri dan menggunakan kantor  dalam masa jabatannya untuk keuntungan finansial atas kerajaan bisnisnya yang tak kurang dari 500 usaha.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun