Mohon tunggu...
Hanif Sofyan
Hanif Sofyan Mohon Tunggu... Full Time Blogger - pegiat literasi
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Buku De Atjehers series

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Sebuah Kota Tanpa Kembang Api

1 Januari 2021   19:36 Diperbarui: 27 Januari 2021   19:45 73
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

https://id.pinterest.com/pin/31666003607888366/

Dilematis, setidaknya itu yang muncul, ketika memikirkan bagaimana sebaiknya "menyambut" tahun baru. Mengapa?, karena nyaris sepanjang kita mengenal pergantian tahun, miladiah alias masehi telah menjadi alat dalam semua skala penentuan waktu, sehingga membutuhkan waktu ketika kita berusaha untuk menggunakan "alat ukur" lain (baca: hijriah) yang tidak sepopuler miladiah. Maka pertanda perayaan tahun baru, berupa kembang api, karnaval, menjadi sebuah budaya yang tidak linier dengan tradisi kita yang sebenarnya. Terlepas dari semua jenis debat, mempertingati tahun baru memang telah lekat menjadi "tradisi" dalam keseharian kita. Dalam proses menuju perubahan itulah Aceh, terus berusaha tak lagi merayakan datangnya tahun baru dengan kemeriahan kembang api, apalagi parade karnaval.

Mungkin kita menjadi seperti sendirian, ketika seluruh siaran tivi menyiarkan detik datangnya awal tahun, ketika itu Aceh menjadi propinsi tanpa kembang api, tapi bukan sunyi. meski tak satir seperti sendirian tanpa teman., namun itu bagian dari pilihan pembelajaran kita untuk menyadarkan pada semua bahwa sungguh perayaan tahun miladiah itu bukan tradisi kita.

Seperti dunia terbalik, di awal hijriah justru kita seperti asing dengan perayaan tahun kita sendiri. karena jebakan masa lalu yang panjang menjadikan perayaan miladiah menjadi tradisi dan menjungkirbalikkan cara kita memandang realitas dalam formasi berbeda.

Namun inilah kenyataan, bahwa merubah tradisi adalah sebuah kerja keras yang tak singkat. mungkin sejak Iliza sang walikota kota Banda Aceh, berjibaku antara keinginan untuk mengkaffahkan syariat dan upaya Banda Aceh menjadi contoh menjadikan syariat sebagai pilihan yang niscaya.

Aku pikir masa depan cara pandang anak-anak terhadap budaya tahun baru, menjadi pikiran kita paling mendasar, ketika kita berharap kita tidak menjadi contoh salah karena ikut menyemarakkan perayaan yang tidak semestinya kita rayakan. terserah atas debat orang lain diluar kesepahaman pikiran ini.

Anak-anak tidak boleh terkontaminasi dalam batas paling minimal, karena gadget telah menjadi dunia mediasi yang tak lagi membatasi anak-anak kita dengan tahun baru. sehingga mereka bimbang antara dua dunia yang di-ingini dan dilarang. karena ternyata dunia larangan itu begitu semarak dan indahnya, maka tak ayal kita nyaris ber-utopia ketika mengharap anak-anak meninggalkan semarak itu.

Maka dalam pikiran kita dan anak-anak yang diluar kebiasaan, kita memang seperti sendiri, ketika kita berkomitmen memilih 'sendiri' sekarang untuk instrospeksi dan berharap orang juga akan ikut menimbang, apakah sesungguhnya langkah kita benar adanya, atau hanya sebuah keinginan yang tak biasa, atau ini adalah sebuah komitmen meskipun orang akan melihatnya hanya sebuah utopia belaka?.

Biar waktu yang menjelaskan makna disebalik ini semua. karena dalam waktu yang terus berjalan, kini kita terbiasa, menikmati tahun baru layaknya hari-hari kemarin, hari ini dan mungkin besok. hanya saja, kita boleh saja berkomitmen, ber-resolusi, semoga kita menjadi lebih baik. karena sebaik-baik kita, adalah yang berubah menjadi lebih baik dan bermanfaat bagi orang banyak.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun