Mohon tunggu...
Eko Prabowo
Eko Prabowo Mohon Tunggu... karyawan swasta -

http://wustuk.com\r\n\r\nhttps://soundcloud.com/rakjat-ketjil-music

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Hong Kong Part 2

28 November 2011   17:15 Diperbarui: 25 Juni 2015   23:05 280
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Karier. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Berada di sebuah kota, alangkah serunya jika kita bisa mencicipi sarapan di kedai khas kota tersebut. Sayangnya, saya tidak tahu apa dan dimana lokasi sarapan khas orang Hong Kong. Maka pada pagi November yang sejuk itu, sembari celingak-celinguk mencari posisi Hyatt Regency tempat konferensi Digital Media Asia 2011 diadakan, saya menyusuri jalan yang mulai ramai, mencari kedai yang sudah buka.

Di ujung jalan, tepat di seberang pintu masuk belakang Hyatt Regency dan disisi jalan masuk ke subway MTR, ada sebuah kedai mie yang sudah buka dan ramai pengunjung. A-ha!

[caption id="attachment_145281" align="aligncenter" width="300" caption="Mie rebus dengan fish dumpling"][/caption] Dengan percaya diri (karena poster menunya yang dipajang di kaca depan menggunakan dua bahasa: China dan Inggris) saya memesan mie rebus lengkap beserta fish dumpling-nya. Untuk HK $ 25, menu sarapan ini tergolong memuaskan. Disamping rasanya enak dan menyegarkan, porsinya juga besar!

Asyiknya lagi, ternyata orang Hong Kong biasa menyantap makanan sembari minum teh tawar hangat. Jadi saya tidak perlu pesan minuman tambahan. Cukup teh tawar hangat gratisan yang selalu bisa diisi ulang.

Rentang waktu 09:00-17:00 sepenuhnya diisi dengan urusan pekerjaan: konferensi padat peserta yang hari ini tema utamanya adalah “Online and Social Media Asia”.

Melihat demikian banyak dan antusiasnya peserta, saya menyimpulkan bahwa perusahaan media di Asia sudah melek tantangan masa depan dan memutuskan untuk segera bertarung sepenuh hati di ranah digital. Sebuah medan pertempuran baru yang belum punya aturan main baku. Sebuah wilayah ekonomi baru yang belum sepenuhnya bisa dipetakan.

Sesaat setelah konferensi hari itu selesai, sekitar puku 17:20 waktu Hong Kong, saya dan dua orang teman langsung meluncur. Target malam itu adalah The Peak!

Dari lokasi konferensi kami berjalan kaki sedikit ke subway MTR East Tsim Sha Tsui. Bermodalkan kartu gesek ajaib Octopus Card, darisana kami menumpang MTR ke Central yang terletak di pulau Hong Kong. Perjalanan pindah pulau yang singkat, mudah, dan menyenangkan.

Keluar subway Central kami terus berjalan kaki menanjak ke terminal Peak Tram. Rasanya seperti berjalan-jalan di Bogor atau Dago, dimana jalanan menanjak dan udara sore terasa sedikit dingin.

Ketika tiba di terminal Peak Tram, ratusan orang ternyata sudah mengantri. Namun lagi-lagi kami diselamatkan oleh Octopus Card yang memungkinkan kami langsung masuk ke antrian tram tanpa perlu terlebih dulu antri di loket pembelian karcis. Tinggal gesek, semua beres!

Sejujurnya, sejak mendarat di Hong Kong saya sudah mulai melihat perbedaan kultur disiplin masyarakatnya dengan yang biasa saya temui di Jakarta.

Di escalator dalam mall maupun ban berjalan mendatar di sepanjang subway, orang berdiri di sisi kanan. Sisi kiri selalu dikosongkan. Itu diperuntukkan bagi mereka yang tergesa-gesa dan berjalan cepat melewati orang-orang yang berdiri. Selalu seperti itu.

[caption id="attachment_145282" align="aligncenter" width="300" caption="Menyeberang jalan dengan tertib"][/caption] Di jalan, nyaris semua pejalan kaki hanya menyeberang ketika lampu tanda boleh menyeberang (berupa gambar orang berwarna hijau) menyala. Dan disini, antrian penumpang tram yang jumlahnya mencapai ratusan orang terlihat tertib sekali.

Mengantri terasa nyaman dan bebas dari rasa khawatir, karena semua orang tertib berbaris mengular meski tak ada garis pembatas dan tidak satu pun orang yang memotong antrian!

Mendadak saya terbayang betapa brutalnya antrian penumpang Transjakarta.

Ah, kalau mau jujur, bangsa kita memang masih perlu belajar banyak dari kebudayaan bangsa lain.

[caption id="attachment_145284" align="aligncenter" width="300" caption="Antrian penumpang Peak Tram"][/caption] Dua shift kemudian, saya sudah masuk ke Peak Tram dan memulai perjalanan mendaki.

Perlahan tram tua berwarna merah itu mendaki rel yang terjal. Semakin keatas semakin terjal. Bahkan di suatu titik, saking terjalnya jalur tram tersebut, gedung-gedung tinggi di samping kami seolah tertekuk menjadi horizontal. Benar-benar tertekuk seperti adegan gedung yang melipat dari vertical menjadi horizontal dalam film Inception. Pemandangan yang luar biasa!

Saking luar biasanya, saya sampai lupa menjepretkan kamera. Dasar kampungan!

Perjalanan yang sedikit mengerikan itu tak berlangsung lama. Kami segera tiba di pusat perbelanjaan yang menjadi satu dengan terminal Peak Tram. Bergegas semua penumpang turun, dan calon penumpang yang sudah menyemut disana gantian masuk untuk turun kembali ke terminal bawah.

Dari sana penumpang tidak langsung masuk ke kawasan The Peak, melainkan dihadang oleh Madame Tussauds: dua lantai koleksi patung lilin dari sosok orang-orang paling terkenal di dunia. Termasuk di dalamnya adalah Jackie Chan, Gandhi, Angelina Jolie, The Beatles, Elvis, hingga Barrack Obama. Dan patung-patung itu, semuanya, sungguh mirip dengan sosok aslinya!

[caption id="attachment_145287" align="aligncenter" width="300" caption="Patung lilin di Madame Tussauds"][/caption] Tentu saja tidak ada paksaan untuk memasuki komplek Madame Tussauds yang bertarif HK $ 180 (termasuk sebuah buku panduan) itu. Kita boleh memilih untuk langsung naik keatas menuju lokasi pemandangan The Peak.

Ketika saya akhirnya menjejakkan kaki di The Peak, setelah setengah jam lebih asyik berfoto bersama puluhan patung lilin, angin malam berhembus dingin dan kencang. Puncak itu begitu gelap sehingga cahaya gedung di kejauhan terlihat sangat terang. Dan indah!

[caption id="attachment_145289" align="aligncenter" width="300" caption="The Peak"][/caption] Ratusan meter dibawah sana, gedung-gedung pencakar langit Hong Kong menjulang dan menyala terang benderang. Terhampar beberapa kilometer lebih jauh adalah laut yang memisahkan pulau Hong Kong dengan Kowloon. Berikutnya, jejeran gedung di kawasan Kowloon yang tak kalah tinggi, megah, dan penuh cahaya. Barangkali inilah pemandangan terbaik yang ada di Hong Kong, mengalahkan pesona Symphony of Lights tadi malam. Luar biasa!

Angin dingin yang bertiup kencang, rasa lelah, dan juga lapar membuat kami memutuskan untuk tidak berlama-lama disana. Lima belas menit kiranya sudah lebih dari cukup.

Bergegas kami turun ke terminal Peak Tram, berbaur dengan ratusan calon penumpang lainnya yang mengantri dengan sangat tertib. Perjalanan turun terasa lebih singkat dan nyaman, karena kali ini saya mendapatkan tempat duduk.

[caption id="attachment_145291" align="aligncenter" width="300" caption="Ferry"][/caption] Kami sengaja menempuh rute pulang ke hotel yang berbeda dari rute keberangkatan. Dari terminal Peak Tram kami menggunakan bus menuju pelabuhan ferry. Dari sana kami melanjutkan perjalanan menggunakan ferry.

Ombak tenang, sedikit angin laut, dan berlimpah cahaya dari gedung-gedung tinggi di tepi pelabuhan adalah menu penyeberangan yang asyik untuk dinikmati.

[caption id="attachment_145295" align="aligncenter" width="300" caption="Makan malam!"][/caption] Mendarat di dermaga Star Ferry yang berada di pantai Kowloon, kami kemudian berjalan kaki menyusuri pusat perbelanjaan Harbour City dan mengakhir malam yang seru itu dengan semangkuk besar nasi panas, ayam rebus, bebek panggang, dan teh tarik. Nyam!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun