Mohon tunggu...
Wuri Handoko
Wuri Handoko Mohon Tunggu... Administrasi - Peneliti dan Penikmat Kopi

Arkeolog, Peneliti, Belajar Menulis Fiksi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Buya Syafii Telah Pergi, tapi Toleransi Tetaplah Jati Diri

27 Mei 2022   23:25 Diperbarui: 28 Mei 2022   06:00 1241
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Prof. Dr. K.H, Syafii Maarif (Alm). Sumber: Kompas.com

Proses Keindonesiaan, Pluralisme dan Multikultralisme

Fenomena kebudayaan masa lampau yang dapat kita terjemahkan melalui bukti-bukti warisan budaya masa lampau dan bukti tinggalan arkeologi, nilai-nilai filofosis dan budaya sesungguhnya mampu menjadi jembatan reintegrasi sosial sebagai bagian dalam membangun kedaulatan bangsa, di tengah plurarisme masyarakatnya. 

Dari sumber data warisan budaya dan bukti arkeologi yang terungkap, ternyata menyimpan makna dan nilai-nilai humanisme, pluralisme, demokrasi, yang telah berurat berakar yang bisa menjadi media membangun kemanusiaan yang lebih beradab, perdamaian, toleransi, persaudaraan, yang meskipun sempat tercerabut, tidak sampai merusak akarnya, yang jika ditanam kembali dengan baik, mampu bertumbuh dan berkembang sebagai modal membangun peradaban bangsa yang lebih maju dan bermartabat.

Truman Simanjuntak dalam pidato pengukuhannya sebagai profesor riset arkeologi menegaskan bahwa pluralisme dan multikulturalisme di Indonesia adalah sebuah keniscayaan. Pluralisme dan multikulturalisme bagi bangsa ini merupakan suatu keniscayaan; sesuatu yang memang harus ada dan tak terbantahkan. 

Pluralisme dan multikulturalisme yang kita miliki itu, katanya telah menciptakan mozaik yang indah dalam tampilan fisik manusia dan budaya Indonesia di sepanjang perjalanan sejarahnya. Kalau kita sebagai bangsa mau memahami fondasi Keindonesiaan kita, mau belajar pada kearifan-kearifan masa lampau, maka dapat menghindari konflik yang ditimbulkan oleh politik identitas, yang hanya mementingkan golongannya. 

Pluralisme dan Harmoni Kebangsaan

Pluralisme di Indonesia harus dipandang sebagai kekayaan kultural yang senantiasa dipelihara, dengan sekaligus menjaga perlindungan atas identitas kultural dan membuka ruang yang lebih besar bagi multikulturalisme. 

Kunci penting dari hubungan horisontal itu adalah, antara lain, penghormatan pada identitas, toleransi pada kelompok lain, dan kehendak untuk mencari kebersamaan, bukan dengan menegaskan berbagai perbedaan, khususnya perbedaan yang bersifat primordial.

Pluralisme dan multikulturalisme memerlukan ruang dinamis dan membuka dialog dengan berbagai kalangan lintas agama, sosial,
ekonomi, politik, budaya, sebagai manifestasi dari filosofi multikulturalisme itu sendiri yang selalu berusaha menjauh dari jebakan penyempitan wawasan paradigmatiknya. 

Dengan pemahaman ini, menurut penulis pluralisme dan multikulturalisme semestinya diformulasikan sebagai tatanan sosial yang mengakomodasi ruang-ruang keberagaman identitas yang sekaligus memungkinkan bagi terintegrasinya keberagaman itu sendiri.

Dari serangkaian dan berbagai penelitian arkeologi, sesungguhnya memberi kita perenungan bahwa sejak masa prasejarah (masa Plestocen-Holocen), telah ada gejala pluralisme, multikulturalisme ataupun diversitas kultural, ketika kita dihadapkan pada fenomena budaya asli (lokal) kemudian pada masa awal migrasi, mulai bersentuhan dengan budaya Austronesia dan Non Austronesia. Artinya sejak masa itu sesungguhnya tidak ada klaim, bahwa kebudayaan di Indonesia adalah homogen. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun