Mohon tunggu...
Wuri Handoko
Wuri Handoko Mohon Tunggu... Administrasi - Peneliti dan Penikmat Kopi

Arkeolog, Peneliti, Belajar Menulis Fiksi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Buya Syafii Telah Pergi, tapi Toleransi Tetaplah Jati Diri

27 Mei 2022   23:25 Diperbarui: 28 Mei 2022   06:00 1241
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Prof. Dr. K.H, Syafii Maarif (Alm). Sumber: Kompas.com

Untuk mencegah politik identitas demikian, maka dalam pandangan Buya Syafii, maka Pancasila adalah konsep yang adekuat. 

Menurut Buya Syafii, jika Pancasila dipahami dan dilaksanakan secara jujur dan bertanggung jawab, semua kecenderungan politik identitas negatif destruktif yang dapat meruntuhkan bangunan bangsa dan negara ini pasti dapat dicegah. 

Pluralisme etnis, bahasa lokal, agama, dan latar belakang sejarah, kita jadikan sebagai mozaik kultural yang sangat kaya, demi terciptanya  sebuah taman sari Indonesia yang memberi keamanan dan kenyamanan bagi siapa saja yang menghirup udara di Nusantara ini. 

Menurut Buya, dalam ranah gerakan sosial keagamaan, ada Muhammadiyah dan NU, dua sayap besar umat Islam, yang telah mengukuhkan dirinya sebagai benteng  demokrasi dan pluralisme di Indonesia.

Pandangan  Buya Syafii, sebagai pikiran cendekiawan muslim, sebagaimana juga pandangan Nurkholis Madjid (Cak Nur) dalam sumbangsihnya memikirkan masa depan pluralisme di Indonesia. 

Dalam pemikiran Buya Syafii, tantangan lain yang cukup serius terhadap keutuhan bangsa datang dari berbagai gerakan sempalan agama dengan politik identitasnya  masing-masing. Mereka ini semua anti-Pancasila, anti-demokrasi, dan anti-pluralisme. 

Sejarah dan perjalanan politik identitas di Indonesia lebih bermuatan  etnisitas, agama, dan ideologi politik cukup panjang. 

RMS (Republik Maluku Selatan), GAM ( Gerakan Aceh Merdeka), dan GPM (Gerakan Papua Merdeka), sebagai misal dalah perwujudan dari kegelisahan etnis-etnis ini terhadap politik sentralistik Jakarta yang dirasa sangat tidak adil, khususnya bagi Aceh dan Papua.

Gerakan DI (Darul Islam) di Jawa Barat, Aceh, dan Sulawesi Selatan, menggunakan agama sebagai payung ideologi politik identitas mereka. Kecuali GPM yang masih seperti api dalam sekam sampai hari ini, gerakan-gerakan politik identitas lain seperti tersebut di atas, relatif telah dapat diatasi melalui kekerasan senjata atau diplomasi persuasif (Maarif, 2010).

Melihat soalan ini, maka sebagaimana pikiran Buya Syafii ataupun Cak Nur, maka masa depan Keindonesiaan yang multikultur ditentukan oleh kita dalam menerima pluralitas agama dalam masyarakat Indonesia. Lalu untuk meredam pengaruh gerakan radikalisme Islam, umat  Islam perlu memiliki  gerakan  Islam politik  dalam sistem demokrasi. Tugas  selanjutnya  adalah  menerjemahkan nilai-nilai  luhur Pancasila itu ke dalam kenyataan kehidupan yang kongkret. 

Sebagaimana pikiran Buya Maarif, tentu saja menginspirasi para tokoh cendekia maupun generasi muda bangsa Indonesia. Yang pasti proses perjalanan peradaban Keindonesiaa, sesungguhnya sejak dulu memberi pelajaran berharga untuk bangsa ini tentang pemahaman atas pluralisme, demokrasi dan integritas kebangsaan yang sesungguhnya menjadi identitas nasional bangsa kita. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun