Mohon tunggu...
Wuri Handoko
Wuri Handoko Mohon Tunggu... Administrasi - Peneliti dan Penikmat Kopi

Arkeolog, Peneliti, Belajar Menulis Fiksi

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Menyambut 205 Tahun Kebun Raya Bogor: dari Ritual Purba Hutan Larangan hingga Regulasi Hutan Konservasi di Zaman Digital

22 Mei 2022   10:01 Diperbarui: 23 Mei 2022   09:45 1931
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Kebun Raya Bogor. Sumber : Kompas

Oleh karena sakralitas itu, maka di berbagai daerah di Indonesia, mash banyak mengenal lokasi- lokasi hutan yang dianggap keramat yang biasa disebut Hutan Larangan. Hutan larangan itu tidak hanya dikenal pada masa lampau, tetapi bahkan hingga saat ini masih dipertahankan. 

Satu pengalaman kecil saya di Maluku, di bagian barat Pulau Seram, masyarakat mengenal lokasi hutan di Desa Lumoli, sebagai hutan larangan. Tidak sembarang orang bisa memasuki wilayah hutan itu. 

Konon di dalam hutan yang disakralkan itu, pada masa lampau, nenek moyang Suku Alune dan Wemale di Pulau Seram, biasa melakukan ritual Kakehang. Ritual Kakehang di Maluku adalah sebuah ritual bagi kaum laki-laki untuk pendewasaan diri. Salah satu prosesi ritual adalah dengan persembahan mengayau (potong kepala). 

Oleh karena sakralitasnya itu, hutan yang digunakan untuk ritual kakehang tidak boleh dimasuki orang. Barang siapa yang memaksa memasuki hutan itu, apalagi melakukan aktivitas duniawi (menebang pohon, bermukim dan sebagainya) maka celakalah orang itu. 

Demikian pula, di sebuah kawasan Hutan di Morowali, ada kawasan hutan yang disebut Hutan Matandau, juga disebut hutan larangan, tak seorangpun boleh menebang pohon disitu, barang sebatangpun. Jika ada manusia berani menebang pohon, maka malapetaka akan menimpang kampung atau negeri. 

Gambaran sakralitas hutan larangan itu, bagi saya adalah sebuah makna tentang kearifan lokal masyarakat pada masa lampau dalam menjaga hutan dan lingkungannya. Jadi, ada internalisasi dalam kehidupan masyarakat masa lampau untuk melindungi hutan dan melestarikannya. 

Oleh karena itu, jauh sebelum lahirnya regulasi tentang hutan konservasi baik itu Kebun Raya, Cagar Alam ataupun Taman Nasional, masyarakat nusantara pada masa lampau sudah memiliki atorang (aturan) sendiri yang lahir dari kearifan lokalnya dalam menjaga hutan dan lingkungannya. 

Kearifan lokal pelestarian lingkungan ini adalah ruh peradaban, bagian sejarah penting yang memberikan pelajaran berharga bagi Indonesia kekinian, tentang kekayaan alam yang terus terjaga menjadi ikon yang hidup dan menghidupkan. Proses perjalanan peradaban itulah yang kemudian melahirkan konsep regulasi lahirnya Kebun Raya, Cagar Alam, Taman Nasional dan sebagainya. 

Kebun Raya Bogor : Dari Hutan Larangan ke Hutan Konservasi

Baik, kita kembali ke Kebun Raya Bogor. Dalam narasi demikian, maka Kebun Raya Bogor itu juga bagian dari proses panjang peradaban, tidak hanya 205 tahun yang lalu, namun jauh ke masa lampau, sebelum Kebun Raya Bogor ditetapkan sebagai Kebun Raya dalam regulasi yang ditetapkan kemudian hari. 

Jika menilik proses perjalanannya, maka keberadaan kebun raya Bogor, sama halnya pula contoh hutan larangan sebagaimana contoh kecil yang penulis sebutkan tentang Hutan Larangan di Pulau Seram, Maluku. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun