Setelah lama dinanti, akhirnya lahir Organisasi-Organisasi Riset (OR) dari rahim Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), termasuk OR Arkeologi, Bahasa dan Sastra.Â
Meskipun baru dilahirkan oleh BRIN, arkeologi bukanlah bayi mungil yang baru saja lahir. Lahirnya OR Arkeologi, Bahasa dan Sastra, juga OR lainnya dari rahim BRIN adalah dimulainya proses transformasi birokrasi.Â
Transformasi yang dimaksud adalah integrasi berbagai lembaga riset dari Kementerian/Lembaga sebelumnya ke dalam satu lembaga yakni, BRIN.Â
Dari rahim BRIN, maka arkeologi lahir dan akan tumbuh bersama bahasa dan sastra. Oleh karenanya Organisasi Riset yang terbentuk adalah OR Arkeologi, Bahasa dan Sastra.Â
Lembaga arkeologi sendiri sudah lama tumbuh dan berkembang sejak zaman Belanda. Dimulai sejak 1913 yang lalu, kiprah arkeologi sebagai sebuah disiplin ilmu yang berkembang di Indonesia, melahirkan lembaga yang sangat dikenal hingga hari ini. Kiprah lembaga arkeologi sepanjang itu dirasakan semakin penting.Â
Berbagai karya hasil riset menjadi bahan rujukan penyusunan kebijakan. Bahkan sejak 2016, Puslit Arkenas dan Balai Arkeologi se-Indonesia, membuat terobosan program Rumah Peradaban (RP).Â
RP adalah program utama untuk mewadahi berbagai hasil riset arkeologi untuk dimanfaatkan langsung oleh masyarakat, terutama dunia pendidikan. RP bahkan menjadi program prioritas nasional oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas)
Sepertinya OR Arkeologi Bahasa dan Sastra (OR Arbastra) akan tumbuh dengan cepat. Hal ini karena lahir dari dan untuk menumbuhkan ekosistem riset yang lebih berkualitas.Â
Ekosistem riset, menumbuhkan networking atau jejaring dan kolaborasi. Arkeolog, yang selama ini melakukan penelitian arkeologi, cenderung berkutat di rumahnya sendiri, dibatasi oleh sekat dinding sektoral.Â
Kalaupun ada kolaborasi, tidak jauh-jauh dari rumah besarnya, di mana dia bernaung, yakni sesama arkeolog baik di kementerian maupun di universitas.Â