Tapi, kini sahabat itu memiliki pengalaman baru, dimana staf bawahannya, ada saja yang terkesan cuek bebek, tidak peduli apakah dia berkinerja baik atau tidak.Â
Alih-alih berpikir demikian, malah mungkin hanya mikir, sebentar lagi pensiun ini. Bodo amat. Begitu kira-kira yang sahabat saya baca dari pikiran staf-stafnya yang lebih senior.Â
Mungkin  saja salah, namun rasa-rasanya ada indikasi atau ada petunjuk yang menerangkan, kenapa sahabat saya berpikir begitu.Â
Meskipun, secara pelan dan sabar, sebagai pimpinan, Â dia tetap berkewajiban memberikan arahan dan terutama sekali memberikan dukungan dan semangat.Â
Namun, tentu dengan cara dia sendiri, yang terkadang bagi orang lain, dianggapnya songong ataupun sableng. Tapi, ya terserah, dia bermaksud dan berniat baik untuk melakukan perubahan, dari yang stagnan menjadi lebih progresif.Â
Namun disisi lain di juga harus obyektif, saat ini sebagai pimpinan di instansi itu, dia wajib mengatakan soal itu, lepas besok atau lusa dia sudah tidak menjadi pimpinan lagi.Â
Begitu sahabat saya itu tegaskan. Tapi suka atau tidak suka, sepanjang dia masih dipercaya memimpin lembaga itu, maka apa yang terbaik pasti akan dia sampaikan, akan dia lakukan.Â
Begitulah kira-kira yang seringkali dia sampaikan di depan staf. Jadi kadang-kadang kita memang perlu tunjukkan bahwa kita adalah pimpinan di depan staf kita, senior sekalipun.
Di awal dia memimpin instansi itu, dia katakan tidak ada lagi zona nyaman. Setiap orang atau setiap ASN, sama kedudukan dan kewajibannya.Â
Semua wajib tunjukkan kinerja yang terbaik. Tentu omongan dia, tidak bisa begitu saja diikuti, apalagi kalau sudah berhadapan dengan senior.Â
Salah satu jebakan betmen, kenapa kita tidak maju, karena zona nyaman itu. Kadangkala itu menjadi semacam budaya atau tradisi yang mewabah di kalangan ASN. Termasuk di lingkungan kantor, yang dia pimpin.Â