Mohon tunggu...
Wuri Handoko
Wuri Handoko Mohon Tunggu... Administrasi - Peneliti dan Penikmat Kopi

Arkeolog, Peneliti, Belajar Menulis Fiksi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Menyoal RUU Minuman Beralkohol dalam Konteks Relasi Agama, Budaya, dan Pemerintah

14 November 2020   16:31 Diperbarui: 16 November 2020   08:25 724
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Menyoal RUU Minuman Berallkohol. Sumber: ANTARA/Livia Kristanti via Money Kompas

Kedua, dalam konteks relasi agama

Ilustrasi Tidak semua minuman berakohol dilarang dalam draf RUU Minol. Minuman alkohol untuk adat, ritual keagamaan dan farmasi masih diperbolehkan. Sumber: nasional.sindonews.com
Ilustrasi Tidak semua minuman berakohol dilarang dalam draf RUU Minol. Minuman alkohol untuk adat, ritual keagamaan dan farmasi masih diperbolehkan. Sumber: nasional.sindonews.com
Minol tidak bisa dipandang dalam satu kacamata agama, karena di Indonesia ada banyak agama samawi diakui. Posisi minol dalam pandangan agama juga berbeda satu sama lain. 

Meskipun kita bisa memahami, semua agama ada aturannya yang melarang minol (lihat, Fimadani). Namun dalam relasi agama dan budaya (adat dan tradisi), tampaknya ada penerjemahan yang berbeda dalam kebiasaan masing-masing penganutnya. Oleh karena itu RUU Minol, harus mendudukkan persoalan ini secara proporsional. 

Selain itu pemerintah dalam hal ini juga harus bijak mempertimbangkan kontekstualitas relasi agama dan budaya. Aturan pemerintah, tentu dalam konteks kehidupan sosial budaya, juga memiliki relasi dengan kelembagaan agama. 

Bahkan dalam praktiknya, soal kebiasaan konsumsi minol juga berelasi antara agama dan budaya atau adat dan tradisi. Di beberapa wilayah nusantara ini, beberapa diantaranya dapat ditemui, dalam merayakan hari raya tertentu. Selain silaturahmi saling mengunjungi sanak keluarga, handai taulan, suguhan minol dalam kadar terbatas dan normal biasa dilakukan. 

Kondisi ini menunjukkan adanya relasi antara tradisi dan adat dalam konteks budaya, dengan agama dalam konteks perayaan hari raya tertentu, jika dalam praktiknya tidak berlebihan, atau hanya sekadar suguhan ringan dan terbatas. Meskipun relasi bukan pengertian aturannya, namun relasi dalam bentuk praktik perilakunya. 

Fenomena ini saling berkelindan bukan? Atau saling berelasi, sehingga pemerintah perlu mempertimbangkan relasi yang hidup di masyarakat kita, dimana relasi terbangun lebih jelas pada fenomena kelembagaan. 

Ketiga, dalam konteks relasi pemerintah

Ilustrasi, Gubernur NTT Victor B. Laikoda sedang memegang minuman keras Sophia, produk lokal NTT. Sumber: Kupang Kompas
Ilustrasi, Gubernur NTT Victor B. Laikoda sedang memegang minuman keras Sophia, produk lokal NTT. Sumber: Kupang Kompas
Minol tradisional dalam beberapa wilayah dianggap menopang ekonomi masyarakat, sehingga ada beberapa daerah justru membuat perda melegalkan minol yang dihasilkan oleh masyarakat setempat. 

Dilegalisasi dan dipasarkan secara bebas. Kondisi ini dapat ditemukan di beberapa wilayah di Nusantara. Artinya, dalam soal ini ada kepentingan pemerintah, utamanya pemerintah daerah untuk memproduksi minol dalam negeri. Dibuat oleh masyarakat lokal dan menjadi pendapatan untuk meningkatkan ekonomi masyarakat. 

Lalu, jika RUU minuman beralkohol oleh pemerintah pusat, bagaimana dengan legalisasi minol oleh pemerintah daerah yang sudah mengeluarkan perda-perda untuk melegalkan minol? Meskipun pada prinsipnya, UU adalah regulasi yang lebih tinggi, namun resistensi pasti terjadi, jika melihat dalam konteks yang ada sekarang. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun