Mohon tunggu...
Wuri Handoko
Wuri Handoko Mohon Tunggu... Administrasi - Peneliti dan Penikmat Kopi

Arkeolog, Peneliti, Belajar Menulis Fiksi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Seorang Lelaki yang Tewas di Tahun 1949

16 Agustus 2020   20:24 Diperbarui: 23 Agustus 2020   16:42 395
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: https://www.tribunnewswiki.com/

Siang yang terik di tahun 1949, saat agresi militer Belanda II. Seorang lelaki paruh baya dengan pikulannya menyeberang jalan di sebuah kota kecil yang berbatasan dengan wilayah Yogyakarta sekarang. Siang yang terik dan menyengat itu tak menyurutkan langkah lelaki itu mencari nafkah untuk istri dan keenam anaknya. Lelaki bersahaja, yang terbilang sukses di masa itu.

****

Ahmad Tarman, iya lelaki itu adalah seorang pedagang keliling yang sukses. Siang itu istrinya Siti Halimah Sadiyah, melarangnya berjualan. Di luar udara sangat terik dan khawatir sedari tadi di atas langit, menderu pesawat-pesawat pembom Belanda bolak-balik ancang-ancang untuk mendarat di pangkalan Maguwo.

Namun lelaki itu tak menghiraukan istrinya. Ia bergeming karena sudah berjanji mengantarkan dagangan ke pelanggannya. Dilihatnya keenam anaknya yang masih kecil-kecil. Yang terbesar barulah menginjak umur 14 tahun, Tamatan sekolah rakyat (SR), lelaki semata wayang anak Ahmad Tarman yang sangat dibanggakannya. Kelima adiknya adalah perempuan semuanya. Anak bungsunya seorang putri yang baru berumur tiga  tahun, kelak dikemudian hari ia menjadi seorang ibu yang tangguh, ulet dan tabah hingga anak-anaknya dewasa.

Melihat keenam anaknya itu, justru membuat Ahmad Tarman semakin bersemangat untuk berjualan keliling dengan pikulannya. Ia bukanlah seorang yang kaya, namun warisan tanah dari mendiang orang tuanya cukup luas. Mungkin sepertiga dari dusun tempatnya tinggal, tanahnya adalah milik mendiang orang tuanya. Namun beberapa tempat sudah digunakan untuk tempat tinggal tetangganya.

Tanah warisan yang dimilikinya tidak lantas membuat Ahmad Tarman malas bekerja. Tanah yang tak tergarap itu dibiarkan begitu saja, karena berada di dalam kampung. Lambat laun, justru ditempati orang untuk mendirikan rumah, tapi bagi Ahmad Tarman itu sebagai pengorbanan. Maklum pihak Belanda waktu itu membatasi orang-orang untuk memiliki lahan sendiri. Sehingga lahan-lahan di kampung yang dimiliki Ahmad Tarman direlakannya untuk tempat tinggal orang-orang di sekitarnya.

Ahmad Tarman, membuka pintu, beberapa tetangganya menanyakan dan melarang Ahmad Tarman untuk pergi ke kota. Belanda sudah mengepung dan menguasai kota, kata tetangganya itu. "Kang, hari ini tidak usah jualan dulu, dimana-mana tantara Belanda berjaga, mending di rumah saja". Nasehat tetangganya itu sempat membuat Ahmad Tarman ragu dan mengurungkan niatnya untuk berjualan. Diapun kembali ke dalam rumah. Istri dan keenam anaknya menunggu dengan senyuman.

Anak bungsunya tiba-tiba menangis kencang, rupanya lapar. Susu bubuk murahan yang disediakan beberapa hari sebelumnya, sudah habis rupanya. Anak keduanyapun, mengatakan katanya persediaan beras menipis, mungkin hanya cukup untuk hari ini. Si Sulung bilang, minyak tanah sudah habis, sebentar malam, akan lebih gelap dari biasanya, katanya. Sang pedagang keliling itupun termangu, antara keraguan untuk tetap tinggal di rumah, atau keluar rumah untuk membawa pikulannya ke pasar, mengambil dagangan dan mengantarkannya ke pelanggan. Ditengoknya istrinya yang sedang menggendong si bungsu, matanya berlapis kaca, membendung mata air dari sudutnya yang sedari tadi sudah terkumpul, dan sedikit lagi tertumpah.

Lelaki pemikul sayuran dan buah-buahan itu tampak cemas dan bingung lalu melangkah pelan ke arah pintu keluar. Diliatnya istrinya mengangguk, tanda mengizinkannya keluar berdagang. Ia pun bersemangat dan rasa cemat dan takut tiba-tiba seperti hilang begitu saja. Anaknya yang paling besar, seperti tak peduli, ia malah pura-pura tidak melihat ayahnya keluaru rumah, sibuk memperbaiki lampu teploknya. Anaknya yang bungsu tampak tenang, dalam pangkuan ibunya. Empat anak pempuan yang lain sibuk bermain. Dua yang besar umur 11 dan 9 tahun, sibuk bermain bola bekel, dan dua lainnya yang masih kecil berumur 7 dan 5 tahun, sibuk bermain boneka kayu.

Tetangganya kembali mengingatkan Ahmad Tarman untuk tidak keluar rumah dulu, tapi Sang pedagang pikulan itu sudah terlanjur teguh. Ia tetap akan berjualan ke pasar untukm kulakan, mengambil dagangan dan mengantarkannya keliling dari kampung ke kampung untuk para pelanggannya. "Ati-ati wae kang, sing waspodo, londo nangndi-ndi lagi jogo-jogo, nek ono rame-rame, dihindari wae (hati-hati saja, Belanda dimana-mana, lagi patroli, kalau melihat ada keramaian dihindari saja). Demikian tetangganya menasehati pedagang pikulan itu. Tarman hanya mengangguk dan tersenyum. Hatinya sudah teguh, niatnya untuk pulang membeli beras dan minyak tanah, juga sisa sayuran sudah bulat. Keenam anaknya butuh makan, dan juga sebentar malam, rumahnya butuh penerangan lampu minyak.

" Kang, kenapa gak kamu jual saja tanahmu di ujung desa, supaya kamu gak jualan lagi ke pasar, dalam situasi genting begini, tanahmu khan banyak". Begitu kata tetangganya yang sempat ditemui di ujung jalan kampung itu, saat menyapa dan mengingatkan Ahmad Tarman saat hendak pergi berdagang. Mendengar itu Tarman hanya tersenyum dan menjawab singkat "situasi begini, siapa yang mau beli tanah Won" jawab Tarman balik mengingatkan Kliwon, tetangganya itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun