Makam ini adalah makam kuno, dengan nisan menhir, namun kondisi sekarang, pada bagian nisan makam, sudah diperbaharui, sehingga kehilangan nilai kekunoannya.Â
Ciri makam kuno, dengan susunan jirat batu dan nisan menhir, merupakan ciri makam kuno yang umum. Ciri ini sesungguhnya merupakan bentuk adaptasi budaya pra Islam yang masih berlanjut meskipun masyarakat sudah mengenal Islam.
Beberapa makam menunjukkan makam Islam dengan tipologi lokal, yakni tipologi pengaruh budaya pra Islam, dengan nisan menhir, namun beberapa diantaranya terdapat makam dengan tipologi nisan yang cenderung memperlihatkan tipologi Ternate. Nisan dengan tipologi Ternate, semakin memperjelas bentuk pengaruh Ternate terhadap Kerajaan Loloda.
Selain makam-makam Islam yang sudah disebutkan, juga ditemukan satu makam yang unik, berbeda dengan makam lainnya, yakni sebuah makam yang menunjukkan makam pra Islam, atau makam yang bukan ciri makam Islam. Kemungkinan tokoh yang dimakamkan adalah tokoh masyarakat asli (alifuru) yang belum beragama, atau masih menganut agama suku (animisme).
Ukuran makam yang sangat besar dengan nisan batu menhir dan berorientasi cenderung arah barat timur, berbeda dengan makam-makam Islam sebelumnya yang berorientasi Utara-Selatan.Â
Ukuran makam, dengan jirat atau badan makam, mencapai hampir dua kali ukuran tinggi manusia, itu cukup aneh dan mengundang pertanyaan.
Keberadaan makam ini, memberikan penjelasan bahwa lokasi Soasio, merupakan sebuah kampung yang sudah dihuni sebelum munculnya komunitas muslim Loloda. Dalam catatan sejarah, disebutkan bahwa selain kampung muslim Soasio, juga terdapat kampung-kampung pedalaman, yang masih menganut agama suku.Â
Selain temuan fitur bekas kedaton dan artefaktual seperti yang disebutkan sebelumnya, temuan koin logam bertahun 1898 dan artefak botol-botol Belanda, serta keramik Eropa, dapat menjadi bahan interpretasi bahwa, wilayah ini pada abad itu, dikuasai oleh pihak Kolonial.
Meski jumlah temuan koin yang minim atau hanya satu buah berdasrkan survei yang dilakukan, kemungkinan menunjukkan bahwa pada masa itu, alat tukar yang digunakan berupa uang Belanda, yang dapat pula diterjemahkan bahwa ekonomi kolonial menguasai wilayah itu.
Secara geografis, Loloda merupakan kerajaan pedalaman di Daerah Aliran Sungai yang sangat terbuka berhubungan dengan wilayah lain melalui laut.Â