Mohon tunggu...
Wuri Handoko
Wuri Handoko Mohon Tunggu... Administrasi - Peneliti dan Penikmat Kopi

Arkeolog, Peneliti, Belajar Menulis Fiksi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Tangisan Tengah Malam

11 Agustus 2020   23:57 Diperbarui: 12 Agustus 2020   01:53 392
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
lifestyle.okezone.com

Tak seperti biasanya malam ini aku hanya bisa termenung, setelah siang tadi banyak hal kulalui tanpa keputusan. Biasanya menjelang tengah malam, imajiku  hidup dengan liar, merambat memenuhi rongga otak dan terus menjulur ke bilik-bilik jantung dan ruang-ruang hati, lalu mengalir puisi.

Malam ini tak seperti malam-malam biasanya, lebih gelap dan semakin gelap dan lengang, lampu kamar kupadamkan, lalu kucoba terpejam. Tapi ternyata jiwa semakin menerawang ke lembah-lembah belantara sunyi. 

Malam ini semakin tenggelam, gelap dan tak berpenghuni. Rumahku yang jauh di pinggir kota, diantara lahan kosong dan persawahan tampak semakin mencekam. 

Entah kenapa tak seperti biasanya, kengerian dan kecemasan menghadang dan meradang ke pembuluh-pembuluh darahku yang paling jauh dan dalam, yang tak pernah kujangkau dalam pikiranku selama ini.

Darah dalam nadiku seperti mengalir kencang ke jantung. Membuat jantungku malam ini berdegup kencang. Dan keringatku keluar dari pori-pori dan mengumpul sebesar biji jagung, memenuhi permukaan kulit. 

Kurasakan malam ini benar-benar jahanam, terasa sangat mencekam dan membuatku seperti bergidik, dan tiba-tiba bulu-bulu halus di lengan dan leherku seperti berdiri dan bergetar. Jantungku berdegup kencang, tubuhku bergetar hebat. 

Malam ini aku seperti dalam halusinasi kematian, entah kematian siapa dan dimana. Tetapi rasanya tidak jauh dari tempat tinggalku. Mungkin sebelah kamarku, atau di halaman belakang rumahku.

Diantara kengerian, ku mengintip pelan keluar jendela, dari balik tirai jendela yang kugeser sedikit saja, pelan dan kupaksakan. Takkulihat mahluk seekorpun, gelap teramat sangat, seperti pekat kopi yang tumpah tersenggol lenganku yang gemetaran. 

Satu-satunya bunyi yang kudengar hanya bunyi jarum jam berdetik. Lampu listrik mati total di seluruh kampung, kunyalakan lilin yang tinggal setengah batang. Takkulihat wajahku dalam cermin di kamar, kecuali sorot mata samar. Gelap dan tak ada sama sekali suara di malam mencekam ini.

Rumah kontrakan yang kuhuni, seperti gua di tengah hutan yang sunyi, lembab dan pengap. Tiba-tiba kudengar lirih suara tangisan seseorang, suaranya seperti sangat dekat di belakang rumah. Bulu kudukku tiba-tiba berdiri hebat. Kulit lengan dan leher kasar seperti bintik-bintik kecil yang mengembang karena pori-pori yang terbuka.

Malam itu betul-betul malam yang takkuharapkan. Aku gemeteran, lidahku kelu, nyaliku betul-betul diujung tanduk. Aku mendenar suara sesenggukkan, tangisan seorang perempuan yang keras dan semakin lama-semakin lirih. Tapi justru membuat malam kurasakan semakin menakutkan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun