Mohon tunggu...
Wuri Handoko
Wuri Handoko Mohon Tunggu... Administrasi - Peneliti dan Penikmat Kopi

Arkeolog, Peneliti, Belajar Menulis Fiksi

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Karena PJJ, Anak Saya Jadi Youtuber dan Ingin Jadi Kompasianer Cilik

6 Agustus 2020   17:19 Diperbarui: 6 Agustus 2020   21:55 297
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Belajar online. Sumber: https://jogya.com/

Anak saya, kelas 4 SD, sejak pandemi ini selalu mengikuti Pembelajaran Jarak Jauh melalui gadget ibunya. Mungkin karena kebiasaan belajar secara daring, dia semakin akrab dengan gadgetnya. Selama ini memang tidak ada kendala, karena ada media yang bisa digunakan.

Para orang tua murid dan pihak sekolah juga saling berkomunikasi melalui WA Grup, sehingga perkembangan belajar anak bisa diikuti, karena pihak sekolah selalu memberikan info kepada orang tua siswa. Begitu juga soal jadwal-jadwal belajar anak. Namanya anak, kebiasaan menggunakan gadget. Saya sendiri seringkali mengirimkan tautan soal media informasi belajar yang bisa diikuti dan positif untuk anak. Misalnya aplikasi Rumah Belajar, yang diluncurkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Namanya anak, apalagi anak zaman sekarang, gadget sudah menjadi mainan sehari-hari. Kami orang tua hanya bisa mengawasi dan mengarahkan, informasi mana yang bisa diakses oleh anak-anak. Nah..program Rumah Belajar, tidak hanya tersedia di laman website dan aplikasi playstore, juga ada di Youtube. Seringkali tugas-tugas belajar di rumah yang diberikan oleh guru, mengharuskan anak juga berselancar di dunia maya melalui bimbingan orang tua. Salah satu yang sering dilihat anak saya adalah program Rumah Belajar di Youtube. 

Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ), akhirnya membiasakan anak saya untuk selalu membuka Youtube. Hampir setiap hari, anak saya menyibukkan diri membuka Youtube untuk memperoleh konten-konten informasi yang dibutuhkah. Lama-lama, malah tertarik untuk membuat konten Youtube sendiri. Pada awalnya, konten Youtubenya berisi berbagai tutorial yang berhubungan dengan soal pandemi. Konten-kontennya berisi tentang tutorial membuat slim, tutorial membuat handsanitizer, hingga membuat desinfektan ala rumahan. 

Apakah menjadi Yotuber itu baik? Ada dua kemungkinan jawaban, satu adalah jawaban baik-baik saja atau positif, asal selalu diawasi oleh orang tua, sehingga anak, bisa membuat konten-konten yang positif, seseuai dengan batasan umurnya. Jawaban kedua adalah tidak baik, atau negatif, jika pengawasan orang tua minimal, sehingga anak bisa saja membuat konten yang kurang sesuai dengan usianya. 

Untuk soal ini, memang dibutuhkan ketekunan dan kesabaran orang tua untuk mengawasi dan mengarahkan. Sebab melarang anak membuka Youtube zaman sekarang, selain tidak bijak juga tidak mungkin dilakukan. Youtube sendiri, juga memberlakukan ketentuan batasan umur untuk anak bisa mengakses konten-konten pada aplikasinya. Untuk memiliki akun Youtube, setiap orang harus mengisi form, yang di dalamnya antara lain tentang tanggal lahir pembuat akun. Tentu saja, jika dilihat usianya masih dibawah umur, Youtube akan memberlakukan pembatasan akses. Sehingga secara otomatis dalam soal itu, orang tua pasti akan terlibat. 

Pada prinsipnya, PJJ bagaimanapun sudah menjadi pilihan di tengah situasi pandemi ini. Beberapa orang tua menyesalkan atas kebijakan ini, karena beberapa diantaranya membuat si anak menjadi malas belajar. Kondisi ini mungkin hampir dirasakan atau dialami seluruh anak. Sementara orang tua, sebagian diantaranya juga disibukkan oleh kebiasaan baru menjadi 'guru' privat di rumah. Kondisi ini sepertinya beberapa orang tua ada yang kurang sabar. Selain kurang memahami materi belajar anak, juga tidak cukup sabar mendamping anak untuk belajar di rumah. 

Kadangkala yang terjadi, PJJ membuat orang tuanya justru yang menjadi siswa, sedangkan anak sibuk bermain di luar. Dibutuhkan kebijaksanaan dan kesabaran orang tua untuk soal ini. Kadang kala anak juga pembosan, karena memperhatikan materi belajar melalui gadget, selain tidak mengasyikkan juga anak menjadi kurang berinteraksi.

Keadaan ini, mungkin punya dampak terhadap psikologi anak. Hal ini karena pada dasarnya, usia anak-anak untuk skala belajar tingkat PAUD dan Sekolah Dasar, adalah masa dimana anak-anak butuh banyak interaksi untuk membentuk jiwanya. Kegiatan belajar anak di sekolah, yang berinteraksi langsung dengan sahabat-sahabatnya, ada kalanya jam istirahan sekolah, bermain dan saat pulang sekolah bercanda ria, sesungguhnya menciptakan generasi yang lebih peka terhadap sesama, artinya secara sosial kepekaan anak akan lebih mudah tumbuh. Proses interaksi anak, bisa menumbuhkan kepekaan sosial lebih baik. 

Lalu, apakah proses PJJ menghambat pertumbuhan anak dalam soal kepekaan sosial? Secara pasti saya tidak tahu persis, mungkin jawaban soal pertanyaan ini, menjadi ranah bagi ahli psikologi anak. Namun sebagai orang tua, saya memahami kondisi ini bisa saja demikian, jika saat di rumah anak tidak diberi keleluasaan untuk bermain dan berinteraksi dengan orang lain. Keluarga terdekat, ayah, ibu, kakak dan adiknya, setidaknya bisa menjadi individu untuk lebih mendekatkan diri secara psikologi dan sosial terhadap anak-anak kita yang terpaksa menjalani Pembelajaran Jarak Jauh.

Selain itu, sebagai orang tua kita juga bisa sedikit memberi kelonggaran anak-anak untuk bermain di rumah, dengan keluarga terdekat lainnya, terutama yang masih dalam satu lingkungan tempat tinggalnya. Kebetulan untuk anak saya, kondisi soal itu cukup menguntungkan, mengingat beberapa sepupunya tinggal saling berdekatan. Kontrol dan pengendalian lingkungan bermainnya, tentu saja menjadi perhatian utama yang harus orang tua berikan kepada anak. 

Nah, untuk pengalaman anak saya, karena interaksi yang terbatas dengan teman-teman sekolahnya karena PJJ, maka ia mencari ruang baru untuk pendaratan dirinya dalam berinteraksi sosial dengan orang lain di era pandemi ini. Sebagai orang tua, tentu kondisi ini sulit untuk dicegah, ketika komunikasi dan interaksi sosial dilakukan anak kita melalui media sosial. Sekali lagi, mengingat batasan usianya, maka interaksi melalui media sosial bagaimanapun harus tetap dalam rentang kendali dan pengawasan orang tua. 

Pengalaman kami sebagai orang tua, melihat anak seringkali berhadapan Youtube, sepanjang itu menjadi alternatif untuk berinteraksi sosial, meskipun tidak secara langsung, kita bisa maklumi. Alhasil, seperti pengalaman kami, anak mulai berkenalan dengan media Youtube, selain belajar juga berinteraksi sosial. Karena dalam platform Youtube tersedia ruang untuk berdialog atau berinteraksi dengan sahabat-sahabatnya melalui dunia maya. Jika komunikasi melalui ponsel, hanya terbatas untuk sekedar komunikasi, melalui Youtube, anak-anak juga bisa berkreasi. Sekali lagi tetap dalam rentang kendali dan pengawasan orang tua. 

Eh...tiba-tiba anak saya bertanya, "Yah, bagaimana caranya bisa menulis di Kompasiana?" Hmmm...gara-gara pertanyaan anak saya itu, saya juga bertanya, bagaimana jika dalam masa pandemi ini, Kompasiana juga menyediakan platform Kompasiana Kidz khusus untuk anak-anak kita, bisa berinteraksi secara sosial, sekaligus untuk ajang belajar dan mewadahi talenta anak-anak kita dalam menulis. Mungkin bisa menjadi hikmah dalam masa Pembelajaran Jarak Jauh...sepanjang itu positif, tidak ada salahnya, saya mendorong anak saya untuk menjadi Kompasianer Cilik...hehehe. 

Salam Kompasaiana....Salam Literasi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun