Artinya, kenaikkan tarif PPN tidak hanya melemahkan daya beli masyarakat, tetapi juga akan meningkatkan tekanan bagi industri. Imbas kenaikan PPN ini berpengaruh pada kenaikan harga barang dan jasa.Â
Sebagai contoh sederhana, semangkuk mie ayam seharga 10.000 rupiah akan dikenai PPN sebesar minimal seribu sehingga harganya menjadi minimal 11.000 rupiah.Â
Seketika saya jadi teringat kisah pengemudi ojol yang membatalkan makan di sebuah warteg karena menghindari membayar parkir sebesar 2.000 rupiah.Â
Betapa berharga nilai seribu dua ribu dikumpulkan dan dipertahankan dari kerja keras banting tulang peras keringat. Dan ternyata buat para wakil rakyat di gedung megahnya, nilai seribu dua ribu itu pun harta yang berharga untuk membayar hutang negara yang entah kemanfaatannya berpihak untuk masyarakat atau lebih ke pemangku kekuasaan.
Di sisi lain dari rumitnya upaya para pemegang kebijakan ingin mengumpulkan dana dari masyarakat demi punya kemampuan membayar hutang negara, tersiar kabar tentang Pandora Paper yang ibarat kotak pandora membuka rahasia adanya petinggi negri dengan perusahaan cangkangnya berusaha menghindar dari kewajiban pajak.Â
Terlepas benar atau tidaknya kabar tersebut, terasa sangat kontradiktif dengan kondisi masyarakat yang tengah dibelit kesulitan ekonomi di masa pandemi namun dibebani kewajiban menanggung beban negara.
Penjual sandal dan mungkin kebanyakan kita, bisa jadi tidak mengetahui atau bahkan tidak peduli tentang kenaikan PPN. Hanya bisa 'ngedumel' ketika membayar harga sepiring nasi rames 15.000 rupiah ditambah PPN-nya minimal 1.500 rupiah yang bisa untuk membeli segelas teh tawar.Â
Hanya bisa berpikir dan berpikir untuk besok kerja lebih keras lagi untuk bisa tetap hidup dan bertahan. Sementara, pajak yang dibebankan, entah ke mana gerangan manfaatnya. Masyarakat masih menanggung beban hidupnya masing-masing.