Mohon tunggu...
Azeem Amedi
Azeem Amedi Mohon Tunggu... Freelancer - Blog Pribadi

Masih belajar, mohon dimaklumi. | S1 Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran | F1 & Racing Enthusiast

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Pro dan Kontra Pelarangan Mantan Napi Tipikor Menjadi Calon Legislatif

16 Juli 2018   11:08 Diperbarui: 16 Juli 2018   11:33 5416
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pemilihan Umum (selanjutnya disebut Pemilu) 2019 akan semakin dekat. Perhelatan pesta demokrasi tiap 5 tahun sekali ini menjadi media penyaluran suara masyarakat untuk ke arah, yang mungkin, lebih baik. Masyarakat akan memilih wakil-wakilnya dalam lembaga pemerintahan serta memilih siapa yang menjadi 'nahkoda' negara menuju tujuan negara yang termaktub pada Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945/UUD 1945), yaitu mewujudkan kehidupan negara yang "merdeka, bersatu, adil, dan makmur" (alinea kedua).

Payung hukum pun telah disiapkan demi terjaminnya Pemilu yang berlandaskan asas Langsung, Bebas, Rahasia, Jujur, dan Adil (Luber Jurdil). Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum menjadi payung hukum tersebut. Alasan perlu dibentuk peraturan perundang-undangan untuk Pemilu ini tentu demi tujuan hukum (keadilan, kemanfaatan, kepastian), sehingga tercipta penyelenggaraan Pemilu yang sesuai dengan regulasi, berjalan secara bersih, dan damai dalam penyelesaian sengketa.

Mengenai Pemilu sendiri, terlahir topik hangat yang mencuat ke permukaan seiring dengan beberapa kontroversi yang terdapat pada tubuh UU No. 7 Tahun 2017 (UU Pemilu). Kali ini akan diangkat topik mengenai hak mantan napi Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) untuk mencalonkan diri di Pemilu sebagai calon legislatif. 

"Lho Mas, setiap manusia berhak atas kesempatan kedua."

Mari kita lihat dulu ketentuan hukumnya untuk para mantan napi. Pada Pasal 240 ayat (1) huruf g, salah satu persyaratan bakal caleg adalah tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, kecuali secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana.

Apabila dilihat dari pasal tersebut, tidak dilakukan pengerucutan terhadap jenis tindak pidana apa yang dilakukan, apakah tindak pidana biasa atau tindak pidana luar biasa, seperti tipikor. Meskipun demikian, dilakukan pengerucutan hanya pada tindak pidana yang dijatuhi pidana penjara 5 tahun atau lebih. Hal tersebut apabila ditafsirkan secara luas, maka dapat dikatakan salah satu syarat menjadi bakal caleg adalah tidak pernah menjadi terpidana yang hukuman pidananya diancam penjara 5 tahun atau lebih, apapun jenis tindak pidananya, yang terpenting diancam dengan pidana penjara 5 tahun atau lebih sesuai peraturan perundangan yang mengaturnya (KUHP, UU Tipikor, dll.). Berdasarkan ketentuan dan tafsiran tersebut, maka mantan napi tipikor yang umumnya dijerat hukuman penjara 5 tahun atau lebih tidak dapat mencalonkan diri di Pemilu, kecuali mereka secara terbuka dan jujur kepada publik menyatakan bahwa mereka mantan napi tipikor.

Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 20 Tahun 2018 juga mengamini hal tersebut. Pasal 7 ayat (1) huruf h dinyatakan bahwa salah satu persyaratan bakal calon legislatif adalah bukan mantan terpidana bandar narkoba, kejahatan seksual terhadap anak, atau korupsi. 

KPU lewat peraturan ini melakukan pengkhususan kepada mantan terpidana jenis tindak pidana luar biasa yang tidak bisa mencalonkan diri di Pemilu mendatang sebagai bakal calon anggota legislatif. Apabila ditinjau kembali, peraturan ini merinci ketentuan yang ada di Pasal 240 ayat (1) huruf g UU Pemilu, sehingga ketentuan yang lebih rinci ini yang lebih diutamakan ketimbang yang umum (hukum yang khusus mengesampingkan hukum yang umum/lex specialis derogat legi generalis).

Penjabaran yang telah dipaparkan di atas dapat disimpulkan bahwa mantan napi tipikor dilarang mencalonkan diri menjadi anggota legislatif. Hanya saja, ketentuan ini hanya berlaku pada pemilihan legislatif dan Presiden, untuk Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), mantan napi apapun jenis tindak pidananya tetap dapat mencalonkan diri sebagai calon kepala daerah akibat dari Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 42/PUU-XIII/2015 yang membatalkan persyaratan 'tidak pernah menjalani pidana yang diancam penjara 5 tahun atau lebih' pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2018 tentang Pemilihan Kepala Daerah.

Walaupun pelarangan ini digaungkan oleh KPU dan didukung oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), tapi ada perbedaan antara lembaga-lembaga tersebut dengan Pemerintah (lembaga negara utama). Presiden Joko Widodo, dilansir dari Kompas.com tanggal 29 Mei 2018, justru menyatakan bahwa mantan napi Tipikor dapat mencalonkan diri, hanya saja diberi label 'mantan koruptor'. Pernyataan tersebut mungkin sejalan dengan Pasal 240 ayat (1) huruf g UU Pemilu apabila yang bersangkutan (mantan napi Tipikor) secara terbuka dan jujur menyatakan kepada publik bahwa benar ia mantan napi Tipikor.

Sejumlah anggota dewan dan beberapa orang dari kalangan masyarakat pun setuju apabila mantan napi Tipikor mencalonkan diri karena hak berpolitik sudah dicabut ketika menjalani pidana. Anggota Komisi II DPR dari Fraksi Golkar, Firman Soebagyo, dilansir dari tirto.id, mengatakan bahwa PKPU No. 20 Tahun 2018 bertentangan dengan hak asasi karena setiap orang berhak memilih dan dipilih.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun