Mohon tunggu...
Azeem Amedi
Azeem Amedi Mohon Tunggu... Freelancer - Blog Pribadi

Masih belajar, mohon dimaklumi. | S1 Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran | F1 & Racing Enthusiast

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Tentang BPIP dan Kritik terhadap Pembentukannya

3 Juni 2018   11:07 Diperbarui: 3 Juni 2018   11:37 3515
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Berkas:National emblem of Indonesia Garuda Pancasila.svg


Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) sedang menjadi perbincangan hangat belakangan ini. Lembaga yang dibentuk dan digadang-gadang akan menjadi garda terdepan pelindung ideologi Pancasila ini sempat menghadirkan kontroversi tentang apa peran yang dipegang oleh lembaga tersebut, apa saja Tugas, Pokok, dan Fungsi (Tupoksi) dari BPIP, apa urgensi pembentukan lembaga tersebut, dan tentu saja yang menjadi perbincangan hangat adalah mengapa para pemegang jabatan dalam lembaga tersebut bergaji selangit, melebihi apa yang diperoleh Presiden dan Wakil Presiden.

Perlu ada yang diluruskan dari pandangan negatif beberapa kalangan di masyarakat tentang keberadaan BPIP ini. Lembaga ini tentu tidak dibentuk karena Presiden "iseng" untuk "bancakan" anggaran saja, tapi pasti ada konteks atau substansi dari pembentukan badan tersebut. Untuk lebih lanjut, akan dijelaskan mengenai pembentukannya terlebih dahulu.

Ide pembentukan BPIP bermula dari sebuah unit kerja yang disahkan oleh Presiden melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 54 Tahun 2017 tentang Pembentukan Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP-PIP). Demi menguatkan dan mengkonkretkan program pembinaan ideologi Pancasila, maka dibentuklah BPIP melalui Perpres Nomor 7 Tahun 2018. BPIP berkedudukan sebagai suatu lembaga negara auxiliary atau lembaga negara pembantu, yang menurut Bagir Manan merupakan lembaga negara yang memiliki tugas untuk membantu melaksanakan fungsi negara secara langsung atau bertindak untuk dan atas nama negara. Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat dikatakan bahwa BPIP dibentuk sebagai lembaga auxiliary yang menunjang fungsi negara Indonesia untuk melakukan pembinaan ideologi Pancasila pada masyarakat.

Tugas dan fungsi BPIP menurut apa yang termaktub dalam Pasal 3 dan 4 Perpres No. 7 Tahun 2018 secara garis besar adalah membantu Presiden dalam merumuskan arah kebijakan pembinaan ideologi Pancasila, melaksanakan koordinasi, sinkronisasi, dan pengendalian pembinaan ideologi Pancasila, menyelenggarakan penyusunan pendidikan serta pelatihan ideologi Pancasila, serta memberikan rekomendasi terkait regulasi agar lebih "Pancasilais", dilakukan secara menyeluruh dan berkelanjutan.

Pertanyaan mengenai urgensi pembentukan lembaga ini pun muncul. Menurut keterangan yang disampaikan oleh Moh. Mahfud MD, seorang Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia yang juga merupakan Anggota Dewan Pengarah BPIP, BPIP dibentuk karena adanya ancaman terhadap ideologi Pancasila. Menurut data yang ia dapat, terdapat 9 persen masyarakat Indonesia yang tidak setuju dengan Pancasila, dan nilai tersebut terus berkembang karena sejumlah masyarakat tidak memahami nilai Pancasila. Hal tersebut diakibatkan adanya gerakan radikalisasi masyarakat.

Selain ancaman radikalisasi, menurut pandangan pribadi penulis, urgensi pembentukan BPIP adalah sebagai wujud preventif terhadap perilaku-perilaku anti-sosial, antipati, SARA, dan penguatan budi pekerti melalui nilai-nilai dari kearifan lokal. Pancasila menurut Kaelani merupakan wujud manifestasi nilai-nilai luhur tradisional bangsa, dan ini perlu dilestarikan tidak hanya sebagai ideologi negara dalam menjalankan fungsi kenegaraan, namun perlu adanya penghayatan dan implementasi dari masyarakatnya untuk dijadikan pedoman dalam kehidupan bermasyarakat.

Meskipun dipandang memiliki peranan yang cukup besar dalam pembinaan ideologi Pancasila pada masyarakat, namun ada beberapa poin yang perlu dipertimbangkan kembali mengenai pembentukannya. Pertama, tentunya persoalan gaji yang diterima para pengisi jabatan di lembaga tersebut. Memang sah apabila dikatakan pantas menerima gaji yang cukup tinggi karena perannya untuk bangsa dan negara yang cukup besar, apalagi para pengisi jabatan dalam lembaga tersebut merupakan tokoh-tokoh masyarakat yang tersohor, namun tidak logis saja mendapat bayaran yang lebih besar dari pejabat politik seperti Kepala Negara (Presiden).

Kedua, penulis memandang terdapat kesan politisasi terhadap pengisian jabatan di BPIP. Apabila dilihat, pemegang jabatan Ketua Dewan Pengarah BPIP merupakan ketua umum partai politik. Ini dapat berisiko terhadap arah kebijakan BPIP, yang nanti ditakutkan untuk melegitimasi kepentingan suatu pihak ketimbang mengedepankan fungsi lembaga tersebut sebagai penunjang tugas Presiden dalam pembinaan Pancasila, jadi ditakutkan "disetir" oleh kepentingan-kepentingan politis ketimbang menegakkan fungsi-fungsi yang diamanatkan oleh hukum.

Perlunya ada persyaratan khusus menurut hukum yang mengharuskan pemegang jabatan di BPIP, khususnya pada Dewan Pengarah, tidak merangkap menjadi pejabat politik atau menjadi pejabat dalam suatu partai politik demi menghindari hal-hal yang ditakuti tersebut, karena berdasarkan Perpres No. 7 Tahun 2018, khususnya pada Pasal 7, hanya dispesifikan (untuk Dewan Pengarah) pada tokoh-tokoh kenegaraan, agama, masyarakat, purnawirawan TNI/Polri, pensiunan PNS, dan akademisi.

Terakhir, perlu adanya konkretisasi tugas dan fungsi BPIP agar program-program yang dijalankan inovatif dan efektif. Di dalam Perpres No. 7 Tahun 2018, tugas dan fungsi yang diamanatkan masih terkesan abstrak, dan ini menjadi tugas para Dewan Pengarah serta pengurus di dalam BPIP untuk merancang program-program yang aplikatif, inovatif, dan efektif untuk mensosialisasikan nilai-nilai Pancasila kepada masyarakat, seperti berkoordinasi dengan PKK setempat untuk melakukan penyuluhan keluarga mengenai pentingnya penanaman nilai-nilai Pancasila, membantu dalam penyusunan program pendidikan Pancasila yang baru ke dalam kurikulum pendidikan, dan lain sebagainya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun