Ada yang sangat berbeda dengan Ramadan tahun ini. Ramadan tahun ini harus dijalani tanpa seorang kakak tercinta.
Ya, keluarga kami telah ditinggalkan oleh seorang kakak kami untuk selama-lamanya diakibatkan oleh virus corona dan komplikasi dengan sakitnya yang lain di usia 52 tahun.
Dampak dari pandemi virus corona ini ternyata terasa begitu "nyata" ketika terjadi dalam lingkup keluarga sendiri, tanpa menafikan dampak-dampak yang ditimbulkannya di negara kita atau bahkan di dunia.
Teringat dengan begitu jelas ketika di awal masa pandemi saya pernah berbagi sebuah kutipan di grup WA keluarga, yang berbunyi sebagai berikut:
"Wabah virus corona mengajak kita untuk instrospeksi diri. Siapa yang bisa menerka jika ternyata tahun ini AJAL kan menjemput lewat sebab wabah ini. Bersiaplah, dan tawakal kepada-Nya".Â
Ya, siapa yang nenyangka bahwa kutipan di atas ternyata sebuah "pesan" untuk setiap diri, terutama di dalam lingkup keluarga kami bahwa setiap makhluk pasti akan menemui ajalnya: sekarang, besok atau nanti. Seperti firman Tuhan:
"Di mana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, kendatipun kamu di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh." (QS. An-Nisa', 4 : 78).
Di bulan Ramadan kali ini, keluarga kami masih dalam keadaan berduka. Baru 2 bulan kakak kami berpulang ke rahmat-Nya.
Bukannya kami belum ikhlas melepas kepergian kakak kami, namun perasaan kehilangan orang tercinta dan terdekat ternyata masih sangat terasa.
Ada hikmah yang bisa kami petik bahwa masa pandemi yang belum berakhir ini harus terus disikapi dengan bijaksana serta tanpa melepaskan sikap kehati-hatian sebagai ikhtiar kita untuk menghindarkan diri dari terjangkitnya virus corona ini.