Mohon tunggu...
Wolastian Jati
Wolastian Jati Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

Mahasiswa Universitas Sebelas Maret

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Second-term Curse Akankah Terjadi di Indonesia?

29 Oktober 2020   19:32 Diperbarui: 29 Oktober 2020   21:51 383
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Beberapa waktu lalu Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Fakultas Hukum Universitas Andalas dalam sebuah acara menyatakan "ada di dalam literasi soal hukum tata negara dan politik, ada yang namanya kutukan di periode kedua. Diperiode itu tidak hanya muncuk berbagai skandal, tapi watak asli seorang presiden" Dia juga menambahkan watak asli gaya kepemimpinan Presiden Jokowi di periode kedua ini telah tampak. Salah satunya bersikap represif terhadap orang yang kontradiktif terhadap dirinya.

Second-term curse atau kutukan periode kedua ini dikenal di sistem presidensial Amerika Serikat, dimana sebuah anggapan bahwa masa jabatan periode kedua Presiden Amerika Serikat tidak sesukses masa jabatan periode pertama mereka. Jabatan periode kedua Presiden Amerika Serikat biasanya diwarnai dengan skandal besar, kebijakan gagal, musibah ataupun masalah lainnya. Alfred Zacher seorang real estate agent di Indiana dalam tulisan buku Presidential Power in Troubled Second Terms berdasarkan pandangannya hanya sekitar sepertiga dari presiden yang memenangkan pemilihan ulang dan dapat menjadi presiden periode kedua yang bisa dikatan "sukses". Konsep tersebut sejatinya dapat dipercayai ataupun tidak karena masih ada beberapa Presiden Amerika Serikat yang dapat keluar dari stigma "kutukan" ini. Ahli politik Michle Barone menyatakan bahwa masa jabatan periode kedua yang bermasalah biasanya disebabkan karena gagal menyesuaikan diri dengan perubahan keadaan dan tantangan zaman.

Melihat hal tersebut dapat diketahui bahwa Presiden Jokowi memang secara terbuka menyatakan: ia bersedia melakukan reformasi yang drastis dan tak populer, karena toh tidak akan terpilih lagi di 2024. Ada harapan besar, perubahan mendasar akan terjadi. Namun dapat kita ketahui bersama, dalam sebuah sistem presidensial dengan multipartai maka kabinet yang terbentuk adalah koalisi sesaat.  Pada tahun 2024 benar bahwa Presiden Jokowi tidak dapat lagi menjadi presiden sesuai konstitusi yang telah mengamanatkan bahwa presiden hanya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan. Tetapi kita ketahui bersama, partai-partai politik akan berlaga dengan kandidat yang akan diusung masing-masing pada tahun 2024. Maka partai-partai tetap ingin populer dan terpilih, mereka belum tentu akan mendkung kebijakan yang tidak populer.

Dalam jangka pendek, dapat saja dukungan politik di parlemen sangat kuat. Tetapi dapat dikatakan juga beberapa tahun dari sekarang partai politik akan mulai disibukkan dengan masing-masing kandidatnya. Mereka pasti tidak akan mau mengambil resiko politik untuk kebijakan yang tidak populer

Maka dari itu dalam kondisi seperti ini, dukungan politik terhadap Presiden Jokowi harus datang dari publik, khususnya masyarakat sipil. Dukungan ini juga tidak mudah bagaimana kritik dan protes begitu keras terhadap kebijakan seperti revisi Undang-Undang KPK, RUU KUHP bahkan yang cukup menyita publik yaitu disahkannya RUU Cipta Lapangan Kerja atau sering disebut Omnibus Law.

Menarik dukungan masyarakat tidak mudah tetapi dukungan masyarakat akan menjadi insentif bagi pimpinan politik untuk mendukung kebijakan melanjutkan reformasinya. Dengan disahkannya Omnibus Law yang tujuan menyederhanakan regulasi atau Omnibus Law untuk mengurai berbagai aturan yang dipandang tumpah tindih selama ini. Maka dari itu dengan penyederhanaan izin, liberalisasi investasi dan sebagainya, harus diikuti oleh pembangunan institusi dengan perbaikan pelayanan publik, menjaga kualitas SDM, memperbaiki tata kelola pemerintahan dan memerangi korupsi.

Pemerintah saat ini dihadapkan dengan posisi yang sulit. Terkhusus masa Pandemi Covid-19 ini yang semakin hari tidak selesai mengakibatkan perekonomian menjadi berantakan dan pengangguran dimana-mana. Menarik dukungan politik dari publik memang harus dilakukan melalui kebijakan yang dapat dirasakan secara cepat oleh masyarakat serta tidak mengancam setiap hak warga negara sebagai Warga Negara Indonesia. Sehingga Second-term curse atau kutukan periode kedua seperti Presiden Amerika Serikat dapat dihindari. Karena sebuah rezim tidak dikenang karena popularitasnya sesaat tetapi karena kebijakannya yang bermanfaat.

 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun