Mohon tunggu...
WiszKep
WiszKep Mohon Tunggu... Lainnya - Makhluk Ciptaan Tuhan

Manusia yang biasa-biasa saja

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Keberuntungan Kedua

28 September 2021   16:44 Diperbarui: 28 September 2021   16:48 119
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Dan kenikmatan itu harus berakhir setelah kemaluanku tak lagi sanggup untuk berdiri setelah beberapa kali memuntahkan sebuah cairan. Beberapa aku muntahkan di mulut pelacur itu, beberapa lagi aku muntahkan di perut, dan yang paling aku suka di saat aku memuntahkannya di sela dadanya yang empuk.

Aku tak sadar sama sekali setelah itu. Aku hanya ingat di saat tubuhku tergeletak tak berdaya di ranjang sambil mendengarkan guyuran air. Mungkin pelacur itu sedang membersihkan badannya. Lalu, entah mengapa ingatanku beralih ke saat aku sedang mengendari mobil. Entah sejak kapan aku masuk ke mobil itu, mungkin ini karena efek bir yang tadi aku teguk.

Mobil itu melaju begitu kencang. Dan aku tak begitu ingat apa yang terjadi. Seingatku mobil yang aku kendarai dengan begitu kencang menghantam sesuatu. Mungkin sebuah pohon di tepi jalan. Dan sialnya, aku tak langsung mati. Ini aku sekarang, terbaring tak berdaya di rumah sakit dengan seluruh tubuh yang terbalut perban. Ah, aku berharap untuk mati saja.

....

"Ceritakan padaku, Rio. Apa yang terjadi? Mengapa kau sampai mabuk dan nekat mengendarai mobil?" Maria mendekap tanganku erat seolah menahanku pergi dari hidupnya. Dan aku masih saja tak bisa berbicara sepatah katapun. Aku hanya memandangi sekeliling. Aku melihat di sana ada Ayahku, Ibuku, Ayah Maria, Ibu Maria, Kakakku, Abang Maria, beberapa keponakanku dan keponakan Maria.

Dengan sedikit gagap aku memaksakan berbicara, mengatakan semua yang aku ingat kepada Maria. "Begini, sayang. Aku turut berbahagia dengan kehamilanmu. Sebelumnya aku minta maaf..." semua anggota keluarga merapat ke arah ranjangku, mereka berkumpul seperti anak-anak pramuka yang tengah duduk mengitari api unggun. " Aku berhenti dari pekerjaanku karena telah menghilangkan uang perusahaan ratusan juta. Dan yang lebih parahnya, uang yang aku hilangkan dianggap hutang dan harus aku lunaskan dalam jangka waktu sebulan". Perlahan tangan Maria melepaskan genggamannya. Ia menjauh sambil memegangi perutnya.

"Bodoh, bagaimana dengan calon anak kita? Dengan apa harus kita bayar uang sebanyak itu? Lalu, jika kau tak bisa melunasi hutang itu, kau akan masuk penjara. Apa kata teman-teman anak kita nanti, kalau meeka tahu jika ayahnya adalah seorang napi?". Aku tak tahu juga mengapa Maria bertanya sebanyak itu. Bahkan sampai memikirkan ucapan dari teman-teman calon anakku nanti. Aku tak bisa menjawabnya. Aku kembali terdiam. Tak sepatah ketapun keluar dari mulutku. Dan suasana menjadi begitu hening. Lalu, tiba-tiba satu teriakan memcahkan keheningan. Aku kenal sekali suara itu, suara yang paling aku ingat. Suara yang paling besar bersorak bahagia di hari pernikahanku dengan maria. Suara Ayah Maria.

"Mati saja kau keparat!" bersamaan dengan suara itu satu pukulan tepat menghantam dadaku. Dan satu pukulan itulah yang membawaku pada keberuntungan kedua yang kudapat selama aku hidup, yaitu kematian.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun