Mohon tunggu...
WiszKep
WiszKep Mohon Tunggu... Lainnya - Makhluk Ciptaan Tuhan

Manusia yang biasa-biasa saja

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Keberuntungan Kedua

28 September 2021   16:44 Diperbarui: 28 September 2021   16:48 119
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Ah...mengapa untuk mati saja sesuah ini!" tiba-tiba mulutku mengatakan kata yang tak seharusnya aku katakan di hadapan Maria. Sudah seminggu ini aku terbaring tak berdaya di rumah sakit. Bukan karena terkena penyakit, tapi karena aku yang selalu saja mencari penyakit. Memang  beberapa bulanan ini aku  selalu mencari cara agar bisa mati. Aku sudah tak tahan lagi hidup. Bayangkan saja, sudah hidup selama 35 tahun, aku hanya diberikan oleh tuhan satu keberuntungan saja. Siapa orang yang tahan hidup  selama 35 tahun dengan hanya diberikan satu keberuntungan saja dalam hidupnya?

Jika kalian kira keberuntunganku ialah bisa terlahir di dunia ini dengan selamat, maka dengan tegas aku akan menjawab "tidak!". Bagiku terlahir di dunia bukanlah sebauh keberuntungan, melainkan itu ialah kesialan pertama yang aku rasakan. Coba kalian pikirkan, jika terlahir di dunia ini merupakan sebuah keberuntungan, mengapa setiap bayi yang lahir selalu menangis? Mengapa mereka tidak tertawa atau setidaknya mereka tersenyum saja sedikit? Mereka menangis karena mereka tahu, kelarihan merupakan sebuah gerbang untuk menuju kesialan-kesialan lainnya. Lalu, apa keberuntungan pertamaku?

Kebertuntungan pertama dan mungkin menjadi satu-satunya dalam hidupku ialah menikahi Maria. Gadis tercantik yang pernah aku temui. Kita berjumpa di saat aku masih berkuliah. Di saat itu Maria menjadi juniorku. Di antara gadis-gadis lain yang aku kenal, Maria lah yang tercantik. Suaranya yang serak-serak basah bagaikan deburan ombak yang menghantam karang, begitu menenangkan. Tatapan matanya juga begitu damai. Bahkan di saat kau menatap matanya, semua masalah dalam hidupmu akan terasa menghilang untuk sesaat. Aku rasa tak perlu terlalu banyak menceritakan tentang pertemuanku dengan Maria. Yang jelas ia adalah gadis tercantik yang pernah aku temui dan menikahinya merupakan satu-satunya keberuntungan yang aku dapatkan selama hidup.

"Hush...apa yang kau katakan Rio!" Maria menyanggah ucapanku. Ia memegangi tubuhku yang masih saja terbaring lemah tak berdaya dengan perban yang telah memelilit sekujur tubuhku. Entah mengapa pada saat itu matanya terlihat begitu jernih. Bahkan aku bisa berkaca, melihat mataku di dalam matanya. "Kau tak akan mati Rio, aku di sini bersamamu" suara itu begitu menenangkan. Sepertinya kobar api yang menyala dalam tubuhku padam. Kobaran api yang selalu saja menyuruhku untuk mati.

Aku tak tahu sudah berapa lama aku tak sadarkan diri. Setelah dilihat dengan teliti, aku tak tahu bedak macam apa yang Maria pakai. Tidak seperti bedak yang biasa ia pakai untuk bersolek di saat akan pergi berduaan denganku. Kali ini bedak itu membuat kulit wajahnya yang putih dan bersih terlihat begitu kusam. Ah, aku baru sadar kalau itu bukanlah bedak, itu bekas air matanya yang belum kering sempurna. Mungkin selama aku tertidur dalam mimpi kelamku Maria menangis sepanjang hari, berharap aku dapat terbangun kembali. Dan kini, aku sudah terbangun. Bodohnya di saat terbangun aku malah kembali membuat bendungan di matanya pecah. Ah, dasar Rio yang bodoh. Kalau dipikir-pikir lagi, ini juga merupakan sebuah kesialan.

"Rio, kau tak akan mati! Kita akan hidup bersama sampai hari tua. Dan kau tahu, aku sekarang tengah hamil" Maria mengatakan itu sambil tersenyum sambil mengucurkan air mata dan membuat bekas tangisannya yang lama basah kembali. Aku hanya menatapnya tanpa sedikitpun mengatakan sepatahkata. Jika kalian pikir ini adalah sebuah keberuntungan, maka aku akan menjawab dengan tegas "Tidak!". Aku dan Maria memang sudah lama menginginkan hadirnya sosok anak dalam keluarga kecil kami. Sudah lima tahun menikah tapi aku dan Maria belum dikaruniai seorang anak. Tapi mengapa harus di saat seperti ini sosok anak itu hadir. Ini sebuah kesialan. Bayangkan, mau aku apakan anak dalam kandungan Maria? Bagaimana aku bisa memberi Maria dan calon anakku itu makanan yang layak? Bekerja saja aku tidak. Jangankan bekerja, untuk menggerakan badan saja rasanya begitu sakit.

Sebelum aku terbaring di rumah sakit ini, aku memang memiliki sebuah pekerjaan. Menjadi seorang karyawan di sebuah perusahaan tambang. Dengan pekerjaan itu, jangankan untuk seorang anak, bahkan lima anak pun sanggup aku hidupi. Namun, sekarang aku tak lagi memiliki pekerjaan itu.

Jika kalian bertanya-tanya tentang apa yang terjadi ke padaku, aku akan menceritakannya ke pada kalian. Tentang bagaimana aku bisa begitu putus asanya dengan hidup.

...

Pagi itu, matahari menyapa seperti ingin mengajakku bermain. Tapi ini sudah hampir jam delapan, beberapa puluh menit lagi aku bisa terlambat. Dengan tergesa-gesa aku bersiap untuk berangkat kerja. Bagaikan di film-film, pagi itu aku hanya memakan roti beberapa gigit saja lalu mendorongnya dengan dua tegukan susu yang telah di siapkan Maria sebagai sarapanku.

"Mengapa terburu-buru sekali?" Maria memandangiku sambil memegangi selembar roti yang siap untuk ia olesi selai.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun