Bisa jadi ada orang Padang tapi ia lebih menyukai coto Makassar atau soto Lamongan, daripada soto Padang sendiri. Mungkin juga ada orang Sunda tapi lebih suka soto Betawi, dibandingkan dengan soto Bandung.
Hal itu tidak bisa disebut sebagai "tidak cinta produk sendiri" atau "tidak cinta budaya sendiri". Ini masalah selera. Kalau masalah selera, ya mau bagaimana lagi.
Terlepas dari semua itu, keanekaragaman soto yang dimiliki masyarakat kita dari banyak daerah sesungguhnya menunjukkan bahwa betapa kaya dan majemuknya budaya nusantara. Sebab soto adalah bagian dari produk budaya suatu masyarakat.
Soto merupakan makanan yang biasa disajikan dalam keadaan panas atau hangat. Di daerah manapun, soto selalu disajikan dalam keadaan itu.
Filosofi dari hal itu adalah bahwa masyarakat kita memang suka kehangatan. Kehangatan di sini bisa dimaknai secara tekstual dan kontekstual.
Makna kehangatan secara teksual tentu sudah jelas. Sementara makna kehangatan secara kontekstual, bisa diartikan bahwa masyarakat kita menyukai kehidupan yang akrab, penuh kegembiraan, penuh keceriaan, tidak tegang, atau jauh dari konflik.
Semangkuk soto, dengan demikian mengajarkan kepada para penikmatnya untuk bisa hidup dengan penuh keakraban, kegembiraan, keceriaan, dan menjauhi konflik dengan sesama. Mungkin ini yang sering dilupakan oleh para penikmat soto.
Seandainya para penikmat soto memahami filosofi dari semangkuk soto, mungkin kehidupan yang moderat dan toleran akan mudah terwujud. Dengan demikian kehidupan yang aman, nyaman, dan tenteram pun akan menjadi kenyataan.