Masalahnya, mengapa harus memaksakan Jokowi-Prabowo? Padahal jelas-jelas Jokowi sudah tidak akan bertemu Prabowo kembali di Pilpres 2024. Artinya polarisasi yang dikhawatirkan Qodari antara pendukung Jokowi dan pendukung Prabowo tidak mungkin ada.
Ide Qodari memasangkan Jokowi dengan Prabowo di Pilpres 2024 nanti juga secara tidak langsung merupakan bentuk "pengkultusan" kepada dua orang tokoh tersebut. Ada kesan bahwa Indonesia itu adalah Jokowi dan Prabowo.
Padahal selain kedua orang tokoh tersebut ada banyak tokoh lain yang juga berkualitas dan berpotensi menjadi pemimpin. Lebih bagus atau tidaknya tokoh-tokoh lain itu dibanding Jokowi sebagai presiden saat ini, secara empiris memang belum terbukti. Mungkin lebih bagus tapi bisa juga tidak.
Seandainya ide Jokowi-Prabowo direalisasikan di Pilpres 2024, hal itu sama saja dengan menghambat regenerasi kepemimpinan nasional. Bukan tidak mungkin dari ide Jokowi tiga periode selanjutnya nanti akan muncul ide Jokowi empat periode, lima periode, dan seterusnya.
Kalau sudah begitu makna demokrasi menjadi semu. Padahal demokrasi adalah membatasi kekuasaan, bukan melanggengkan kekuasaan.