Mohon tunggu...
Wiwin Zein
Wiwin Zein Mohon Tunggu... Freelancer - Wisdom Lover

Tinggal di Cianjur

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Pemberantasan Korupsi Berjalan Mundur

15 Januari 2020   13:41 Diperbarui: 15 Januari 2020   15:51 138
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pasca reformasi, kesempatan warga masyarakat untuk ikut andil menjadi pengelola atau pejabat negara terbuka lebar.  Hal itu dikarenakan terjadinya perubahan aturan dalam banyak bidang, misalnya terkait aturan menjadi kepala daerah dan anggota legislatif. Sewaktu zaman orde baru, aturan menjadi kepala daerah ditentukan melalui pemilihan oleh anggota DPRD (provinsi/kabupaten/kota). 

Sementara pasca reformasi, aturan untuk menjadi kepala daerah diubah menjadi dipilih langsung oleh rakyat. Dengan demikian siapa pun yang memenuhi syarat bisa mencalonkan diri. Penentunya adalah rakyat sendiri, bukan anggota DPRD. Walau pun tentu saja untuk bisa menjadi calon kepala daerah terlebih dahulu harus memiliki "tiket" melalui partai politik. Tetapi paling tidak masyarakat umum, yang bukan anggota partai politik tertentu pun bisa ikut mencalonkan diri. Dalam hal ini ada partisipasi dan keterlibatan rakyat yang lebih lebar dan luas. 

Sama halnya dengan aturan menjadi kepala daerah, kesempatan warga masyarakat untuk menjadi anggota legislatif pun terbuka lebar. Sewaktu zaman orde baru, penentuan siapa yang menjadi anggota legislatif adalah urusan partai politik. Partai politik lah yang menentukan siapa "wakil rakyat" yang menjadi anggota legislatif, bukan rakyat sendiri. Partai politiklah yang menentukan nomor urut prioritas siapa yang akan menjadi "wakil rakyat". 

Waktu itu dikenal ada istilah "nomor sepatu". Yaitu  nomor urut caleg (calon anggota legislatif) yang besar, yang agak mustahil bisa terpilih. Sebab caleg yang mungkin terpilih hanyalah mereka yang memiliki nomor urut kecil. Tetapi pasca reformasi hal itu berubah. Siapa pun warga masyarakat yang menjadi caleg dan bukan pejabat partai tertentu tetapi memiliki elektabilitas tinggi, memiliki kesempatan besar untuk terpilih menjadi anggota legislatif. Sebab penentunya bukan nomor urut caleg tapi suara terbanyak yang dipilih rakyat. Dalam hal ini ada partisipasi dan keterlibatan rakyat yang lebih lebar dan luas. 

Faktanya perubahan sistem dalam politik dan pemerintahan tidak banyak mengubah keadaan menjadi lebih baik. Dalam hal tertentu bahkan justeru terlihat menjadi lebih buruk. Kejahatan korupsi misalnya. Dulu sewaktu zaman orde baru bukan berarti tidak ada korupsi, hanya mungkin tidak terlihat karena tidak muncul ke permukaan. 

Sementara pasca reformasi, kejahatan korupsi semakin terlihat kasat mata dan dilakukan oleh para pejabat, oleh para pengelola negara secara masif. Tidak heran jika ada yang menyebut, korupsi pada zaman orde baru dilakukan sendiri-sendiri dan "di bawah meja". Sedangkan korupsi pada zaman reformasi dilakukan secara berjamaah dan "di atas  meja".  

Fenomena semakin marak dan masifnya korupsi yang dilakukan para pejabat dan pengelola negara pasca reformasi menjadi tanda tanya besar, paling tidak bagi saya sendiri. Apakah mereka menjadi pejabat atau pengelola negara itu benar-benar bertujuan ingin mengabdi kepada rakyat, bangsa, dan  negara ? Atau kah mereka ingin menjadi pejabat atau pengelola negara itu bertujuan untuk mencari kekayaan dengan mudah, dengan modus menyalahgunakan jabatan atau  wewenang ? Tentu saja fakta yang terjadi bisa mengarah kepada pertanyaan yang kedua.

Semakin marak dan masifnya korupsi yang dilakukan para pejabat dan pengelola negara pasca reformasi waktu itulah menjadi salah satu latar belakang dibentuknya KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) sebagai lembaga independen dalam pemberantasan korupsi. Lembaga negara yang sudah ada waktu itu, yakni kejaksaan agung dan kepolisian dinilai tidak cukup kuat dalam melakukan pemberantasan  korupsi.

Terbukti kemudian, lembaga baru yang bernama KPK cukup berhasil melakukan upaya pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh para pejabat atau pengelola negara.. 

Tercatat sudah banyak "nama besar" para pejabat atau pengelola negara yang melakukan korupsi berhasil ditangkap oleh KPK. Seperti ada nama Bachtiar Chamsah (mantan menteri sosial), Luthfi Hasan Ishak (mantan Presiden PKS), Anas Urbaningrum (mantan Ketua Umum Partai Demokrat), Nazaruddin (mantan Bendahara Partai Demokrat), Akil Mochtar (mantan Ketua MK), Patrialis Akbar (mantan Hakim Agung), Setya Novanto (mantan Ketua umum Partai Golkar), dan masih banyak nama lain. Belum lagi ada banyak kepala daerah, anggota DPR/DPRD, dan pejabat atau pengelola negara lainnya yang juga berhasil ditangkap oleh KPK.

Keberhasilan  KPK menangkap para koruptor tentu menimbulkan rasa sakit hati, dendam, atau kemarahan dari pihak keluarga, kolega, atau orang yang berkepentingan dengan para koruptor itu. Sehingga sangat mungkin muncul upaya-upaya balas dendam yang dilakukan oleh para koruptor atau pihak-pihak yang merasa kepentingannya terganggu. Sehingga muncul istilah corruptors fight back (koruptor menyerang balik).  

Indikasi corruptors fight back cukup jelas terlihat. Beberapa kali ada upaya "konstitusional" yang dilakukan yang bertujuan mengubah UU Nomor 30 Tahun 2002 Tentang KPK. Upaya itu menurut para banyak pihak berpotensi melemahkan KPK.

Pada masa pemerintahan Presiden SBY pertama kali muncul wacana revisi UU KPK. Waktu itu pertengahan Desember 2010 DPR bersama pemerintah menetapkan revisi UU KPK masuk dalam prioritas Prolegnas (Program Legislasi Nasional) 2011. Satu tahun kemudian usulan  revisi terhadap UU  KPK kembali masuk prioritas Prolegnas 2012. Akan tetapi saat itu penolakan terhadap wacana revisi UU KPK begitu kencang. Argumen penolakan itu bahwa revisi UU KPK berpeluang melemahkan kinerja KPK. Oleh karena kencangnya penolakan dari masyarakat, DPR akhirnya menghentikan wacana revisi UU KPK (https://tirto.id/).

Wacana revisi UU KPK muncul kembali pada masa pemerintahan Presiden Jokowi. Pada  tahun 2015 seluruh Fraksi di DPR tidak ada yang menolak usulan revisi UU KPK itu. Akan  tetapi lagi-lagi karena adanya tekanan dari para aktivis, masyarakat sipil, dan internal KPK, pemerintah dan DPR terpaksa kembali menunda pembahasan revisi UU KPK. 

Akhirnya pada tahun 2019 DPR bersama pemerintah mengesahkan revisi UU KPK itu menjadi UU KPK Baru, yaitu UU Nomor 19 tahun 2019 Tentang KPK. Argumen DPR dan pemerintah mengesahkan revisi UU KPK saat itu bahkan berbeda 180 derajat dengan argumen dan kekhawatiran para pegiat anti korupsi dan masyarakat sipil, serta internal KPK sendiri. DPR dan pemerintah berargumen bahwa revisi UU KPK itu justeru untuk memperkuat KPK.

Reaksi keras menolak revisi UU KPK berdatangan dari berbagai pihak. Beberapa hari pasca disahkannya UU KPK Baru tanggal 6 September 2019, berbagai elemen masyarakat yang dimotori oleh mahasiswa melakukan demonstrasi. Puncaknya adalah demontrasi serentak yang dilakukan di berbagai daerah pada tanggal 23 September 2019.

Banyak pasal yang disoroti oleh para akademisi, pegiat anti korupsi, dan para mahasiswa dalam UU KPK Baru. Salah satunya adalah adanya Dewan Pengawas KPK yang justeru dinilai memperlambat kinerja dan melemahkan KPK. Kekhawatiran itu paling tidak sudah terbukti. 

Pada tanggal 9 Januari lalu, KPK batal menggeledah kantor salah satu partai politik disebabkan  karena KPK belum memiliki izin penggeledahan dari Dewan Pengawas KPK. Izin penggeledahan membutuhkan waktu, sementara KPK perlu melakukan tindakan yang cepat. Tentunya ini menjadi sebuah kontradiksi.

Sebelum adanya revisi UU KPK, para penyidik KPK bisa bertindak cepat melakukan penggeledahan atau OTT.  Pasca revisi UU KPK,  para penyidik KPK tidak bisa lagi bertindak cepat dan leluasa untuk melakukan penggeledahan atau OTT.  Ruang gerak KPK menjadi  lebih sempit. Artinya KPK bukan menjadi lebih kuat malah sebaliknya. Dengan demikian pemberantasan korupsi bisa dikatakan berjalan mundur.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun