Mohon tunggu...
Wiwin Zein
Wiwin Zein Mohon Tunggu... Freelancer - Wisdom Lover

Tinggal di Cianjur

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Presiden Memang Tidak Salah

10 Desember 2019   13:16 Diperbarui: 14 Desember 2019   07:46 208
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Barangkali saya bukan ahli ilmu komunikasi, tapi sekedar orang yang pernah belajar ilmu komunikasi. Dalam ilmu komunikasi ada adagium "We can not not communicate", Kita tidak bisa tidak berkomunikasi.

Hal tersebut menunjukkan bahwa sebagai manusia kita tidak akan terlepas dari berkomunikasi dengan orang lain. Dalam keadaan apa pun, kapanpun,di mana pun, manusia tidak akan terlepas dari berkomunikasi. Sebab komunikasi adalah kebutuhan yang sangat fundamental bagi manusia.

Komunikasi bukan hanya tentang proses mengenai pembentukan, penyampaian, penerimaan dan pengolahan pesan semata. Salah satu fungsi komunikasi adalah ekspresif. 

Maksudnya, komunikasi merupakan bentuk ekspresi dari perasaan (emosi). Termasuk tentu saja bentuk ekspresi dari sikap, pandangan,  atau kecenderungan seseorang. 

Komunikasi yang dilakukan oleh seseorang dengan sendirinya akan memperlihatkan emosi, sikap, pandangan, atau kecenderungan dirinya.

Sewaktu seseorang memilih pepes ikan daripada makanan lain yang ada di meja makan misalnya, kita menjadi tahu selera makanan orang itu walaupun dia tidak mengatakannya. 

Sewaktu seseorang lebih memilih menonton  film horor daripada film action yang jadi box office, kita menjadi tahu "fantasi" orang itu walaupun dia tidak mengatakannya. 

Sewaktu seseorang lebih memilih membaca buku filsafat daripada buku tentang gosip, kita menjadi tahu "orientasi berpikir" orang itu walaupun dia tidak mengatakannya.

Begitupula sewaktu seseorang yang mampu secara ekonomi tapi tidak trenyuh sama sekali untuk membantu tetangganya yang sedang kelaparan, kita menjadi tahu "jiwa sosial" orang itu walaupun dia tidak mengatakannya.

Tentu saja kita bisa membaca banyak hal lain dari proses komunikasi yang dilakukan seseorang. Siapa pun, di manapun, atau kapan pun. Termasuk dalam hal ini apa yang dilakukan presiden Jokowi hari Senin, 9/12 yang lalu.

Sebagaima kita ketahui bahwa tanggal 9 Desember 2019 adalah hari Anti Korupsi. KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) sebagai lembaga anti rasuah tentu saja turut memperingati hari Anti Korupsi. Sejumlah pejabat pun diundang oleh KPK, termasuk Presiden Jokowi. Akan tetapi Presiden Jokowi "mengabaikan" undangan KPK tersebut.

Alih-alih memenuhi undangan KPK, Presiden Jokowi lebih memilih menyambangi SMKN (Sekolah Menengah Kejuruan Negeri) 57, Pasar Minggu, Jakarta Selatan untuk "memperingati" Hari Anti Korupsi di sana.

Memang tak ada yang salah dengan apa yang dilakukan oleh Presiden Jokowi. Akan tetapi bagi saya pribadi hal tersebut agak mengagetkan. Kok bisa? 

Saya memahami presiden adalah sebuah simbol kekuatan yang memiliki kewenangan dan kebijakan untuk melakukan tindakan pemberantasan korupsi. Sementara KPK adalah lembaga "super body" pemberantasan korupsi. 

Menurut saya akan lebih elok jika presiden datang ke KPK sebagai bentuk dukungan moral kepada KPK dalam melakukan pemberantasan korupsi secara maksimal. Apa urgensinya presiden datang ke SMK? Mungkin presiden punya pertimbangan lain. Dan itu hak beliau. Tapi ekspresi komunikasi politik atau gestur politik presiden seperti itu bisa dibaca orang secara negatif. 

Ketidakdatangan presiden ke KPK bisa jadi semakin memperkuat "dugaan" para pengamat selama ini bahwa memang tidak banyak yang diharapkan dari presiden dalam pemberantasan korupsi karena sampai saat ini terus mendukung UU KPK baru dengan tidak juga menerbitkan Perpu KPK.

Seperti apa yang disampaikan Bivitri Susanti misalnya. Menurut pakar hukum tata negara ini, Presiden Jokowi tidak mendukung upaya pemberantasan korupsi. 

Indikasi itu sudah terlihat ketika Presiden Jokowi membiarkan revisi UU KPK bergulir di DPR meskipun proses revisi itu telah dikritik habis-habisan oleh publik (kompas.com).

Bivitri Susanti menilai penjelasan Presiden Jokowi yang tidak mau menerbitkan Perpu KPK karena masih digugat ke Mahkamah Konstitusi keliru, menyesatkan, dan mengada-ada. Menurutnya presiden dapat menerbitkan perpu kapan saja (tempo.co).

Kemudian Kurnia Ramadhana, Peneliti ICW (Indonesia Corruption Watch) Kurnia memandang bahwa Presiden Joko Widodo sudah mengingkari janji kampanyenya soal menolak negara lemah dan mendukung pemberantasan korupsi. Kurnia menanggapi keputusan Presiden Jokowi yang tak akan menerbitkan Perpu KPK untuk menolak implementasi revisi UU KPK. Presiden Jokowi dinilainya sudah memberikan harapan palsu ke masyarakat luas. Kurnia juga melihat Jokowi terkesan sudah tak memandang lagi harapan masyarakat sipil yang disalurkan lewat berbagai demonstrasi mahasiswa di sejumlah daerah pada September lalu hanya dianggap angin lalu saja oleh Presiden Jokowi (kompas.com).

Sedangkan ketua umum YLBHI (Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia) Asfinawati menyebut, dengan tidak dikeluarkan Perppu terhadap Revisi UU KPK oleh presiden merupakan sebuah lonceng masuk ke dalam Neo Orba. Hal itu menunjukkan bahwa Presiden Jokowi tidak berpihak terhadap pemberantasan korupsi (hukumonline.com).

Sementara Rocky Gerung menilai Presiden Jokowi tidak berniat serius memberantas korupsi dalam pemerintahannya.  Menurut Rocky Gerung, Jokowi hanya cari-cari alasan untuk tidak mengeluarkan Perpu dengan dalih menunggu keputusan Judicial Review di MK. Presiden kelihatan mencari alasan untuk menghindari tuntutan publik terhadap kesan bahwa presiden memihak pada potensi korupsi di dalam kekuasaannya (tribunnews.com).

Pendapat senada juga telah disampaikan banyak tokoh lain seperti Feri Amsari, Ray Rangkuti, Emil Salim, Taufikurrahman Ruki, Mardani Ali Sera, dan  lain-lain. Mereka memiliki pendapat yang tidak jauh berbeda dengan beberapa tokoh di atas.

Dengan demikian jika dikatakan bahwa presiden Setengah Hati Antikorupsi mungkin tidak terlalu salah. Banyak indikator yang telah dikemukakan banyak tokoh, yang menjadi evidence hal tersebut. Termasuk gestur politik presiden sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun